Memperingati Hari Guru Nasional

Posted by Unknown Thursday, November 25, 2010 0 comments
Pada kesempatan ini pas rasanya menulis tentang memperingati hari guru sebagai ekpresi rasa cinta pada guru sebuah profesi mulia yang membawa missi mencerdaskan anak-anak bangsa serta kemajuan masa depan.
Adalah Kaisar Hirohito, seorang pemimpin Jepang yang sangat memperhatikan pentingnya keberadaan guru bagi bangsa, dapat kita jadikan contoh tentang pentingnya menghargai profesi guru. Kesadaran akan pentingnya eksistensi guru ditunjukkan oleh kaisar dengan pertanyaan, Berapa jumlah guru yang masih hidup? Pertanyaan ini ditujukan kepada para Jenderal setelah peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa pengeboman kota Hirosima dan Nagasaki menyebabkan derita terbesar dalam sejarah negeri sakura itu, sekaligus mengakhiri kekuasaan Jepang di Asia Raya. Sekitar 150.000 orang diberitakan tewas akibat ledakan dan efek radio aktif dari bom. Namun kegundahan Kaisar justru bukan pada habisnya amunisi, tentara, tank, pesawat tempur ataupun hancurnya kota, Kaisar justru mencemaskan habisnya guru. Tak bisa dipungkiri bahwa Jepang bangkit menjadi negara maju setelah Perang dunia II berkat peranan besar para guru.
Sejak Restorasi Meiji 1868 setelah jatuhnya rezim Tokugawa, semangat bushido mengalami perubahan besar-besaran. Bushido yang identik dengan semangat, disiplin dan etika bukan lagi dimaknai mengangkat senjata, tetapi ditujukan untuk mentransfer pengetahuan dari Barat. Pendidikan dipilih Kaisar sebagai ujung tombak perubahan Jepang, dan guru menjadi aktor utama dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus pewarisan nilai-nilai sosial yang menjadi identitas bangsa.
Cerita ringkas itu bisa menjadi pembanding dengan apa yang terjadi di negeri bekas jajahannya, Indonesia. Di Indonesia kesadaran tentang pentingnya pendidikan di berbagai lapisan masyarakat masih rendah dan jauh dari ideal. Guru sebagai aset bangsa yang bisa mengubah masa depan kurang dihormati, prfesi guru sering dipandang sebelah mata. Demikian pula persoalan pendidikan sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.
Sering terdengar sekolah yang kondisinya memprihatinkan dan tidak layak digunakan sebagai tempat belajar para calon intelektual muda tidak segera diperbaiki meski pihak sekolah sudah berkali-kali mengajukan perbaikan. Banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas pembelajaran yang memadai, kekurangan guru, persoalan profesionalome guru, termasuk dampak otonomi pendidikan yang sering membawa urusan pendidikan pada ranah politik praktis sesaat. Berbagai persoalan itu mengakibatkan peningkatan mutu pendidikan selalu menghadapi hambatan.
Terlepas dari banyaknya persoalan tersebut, guru harus tetap konsisten berkarya dan meningkatkan profesionalitasnya, sehingga mampu mengemban tugas mulia mencerdaskan anak-anak bangsa demi kemajuan bangsa di masa depan.

Baca Selengkapnya ....

Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Akademik Siswa

Posted by Unknown Tuesday, November 9, 2010 0 comments
Muara dari kegiatan belajar mengajar pada hakikatnya adalah prestasi. Prestasi berarti hasil akhir dari satu satuan kegiatan belajar yang telah ditetapkan. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat meningkatkan prestasi akademik siswa, upaya tersebut tidak akan banyak membuahkan hasil jika tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor internal dan eksternal (Gage,Berliner, 1992;Winkel, 1997).
Faktor Internal
a. Intelegensi
Taraf intelegensi seseorang tercermin pada prestasi semua matapelajaran di sekolah. Siswa dengan taraf intelegensi yang tinggi dapat mencapai prestasi belajar yang lebih baik, dibandingkan siswa yang taraf intelegensinya lebih rendah. Namun intelegensi bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan siswa meraih prestasi.
b. Motivasi
Motivasi merupakan daya penggerak yang menjadi aktif pada saat benar-benar ingin mencapai suatu tujuan. Menurut Sukadji (2000) motivasi merupakan tenaga dorong selama tahapan proses belajar yang berfungsi untuk:
1. Mencari dan menemukan informasi mengenai hal-hal yang dipelajari
2. Menyerap informasi dan mengolahnya
3. Mengubah informasi yang didapat menjadi suatu hasil misalnya menjadi pengetahuan, prilaku, keterampilan, sikap, dan kreatifitas
Secara umum, motivasi dibedakan menjadi motivasi internal dan eksternal.Motivasi internal bersumber pada diri sendiri misalnya kebutuhan untuk memuaskan rasa ingin tau. Sedangkan motivasi eksternal berasal dari luar. Siswa yang mengandalkan motivasi ekternal akan membutuhkan adanya pemberian pujian, hadiah atau nilai atas preastasi atau keberhasilan yang diraihnya. Bagi siswa motivasi yang paling penting adalah motivasi berpreastasi sehingga akan cenderung berjuang untuk mencapai sukses.
c. Kepribadian
Kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dalam diri seseorang yang menentukan bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kepribadian dapat berubah dan muncul dalam bentuk tingkah laku, yang sangat dipengaruhi sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan, emosi dan keinginan.
Faktor Eksternal
a. Lingkungan rumah
Lingkungan rumah terutama orang tua memegang peran penting serta menjadi guru bagi anak dalam mengenal dunianya. Orang tua berperan sebagai pengasuh, pendidik dan membantu anak dalam proses sosialisasi. Dengan demikian kemapuan orang tua juga berpengaruh pada preastasi anak, termasuk kemampuan orang tua menyedaiakan fasilitas belajar bagi anak di rumah.
b. Lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah yang baik adalah lingkungan yang nyaman, sehingga anak terdorong untuk belajar dan berprestasi. Beberapa karakteristik sekolah yang nyaman sebagai tempat belajar yaitu:
1. Sekolah mempunyai komitmen mendukung usaha siswa agar sukses
2. Adanya kepercayaan dan perhatian siswa serta orang tua terhadap sekolah
3. Adanya ketulusan dan keadilan bagi semua siswa dalam proses pembelajaran
4. Adanya kebijakan dan peraturan sekolah yang jelas, dan konsisten
5. Terdapat mekanisme yang jelas dalam kehidupan berdemokrasi di sekolah
6.Membangun kerjasama dengan keluarga dan masyarakat
7.Mempunyai tujuan untuk meningkatkan prilaku pro sosial seperti berbagi informasi, saling membantu dan bekerja sama
8. Mengadakan kegiatan untuk mendiskusikan isu-isu menarik dan spesial yang berkaitan dengan siswa
9. Guru memiliki sikap sebagai fasilitator, motivator yang dekat dengan siswa dan siap membantu memecahkan kesulitan siswa
10. Ruang kelas lapang, dengan tata ruang yang menarik
Semua itu akan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga siswa dapat berprestasi. Persoalannya mampukah semua unsur di sekolah menciptakan sekolah yang nyaman?Jawabnya tergantung pada kemauan dan kemapuan masing-masing sekolah, ya kan?

Baca Selengkapnya ....

Dosen bicara : "keberlangsungan sertifikasi dosen"

Posted by Unknown Friday, November 5, 2010 0 comments
Oleh: Iis Zatnika

Sertifikasi dosen telah berlangsung, di mana nantinya dosen yang telah mengantongi sertifikasi akan mendapat tambahan tunjangan fungsional yang besarannya belum ditentukan pemerintah.
Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Satryo Sumantri Brojonegoro mengungkapkan hal itu usai membuka Kongres Asosiasi Dosen Indonesia di Jakarta, Rabu.

Satryo mengungkapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi payung hukum program tersebut kini tengah disusun pihaknya. Rencananya, PP tersebut akan dikeluarkan berbarengan dengan PP tentang sertifikasi guru.
Sebelumnya, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Fasli Jalal mengungkapkan Depdiknas akan menerbitkan sejumlah PP yang menjabarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Juli 2006. PP tersebut di antaranya mengatur tentang sertifikasi guru serta dosen.

Satryo mengungkapkan untuk mendapatkan sertifikasi, seorang dosen harus menempuh proses pelatihan di sejumlah perguruan tinggi (PT). Pemerintah akan menunjuk PT-PT yang dianggap layak melakukan proses pelatihan tersebut.

Setelah melalui pelatihan, mereka diwajibkan mengikuti ujian sertifikasi untuk mengukur kompetensi mereka sebagai pengajar. Selama mengikuti proses tersebut, dosen-dosen tersebut tetap mengajar di kampusnya masing-masing.

"Rincinya belum bisa saya sebutkan, tapi yang jelas tunjangan fungsional itu kita alokasikan dari anggaran negara," ujar Satryo. Satryo mengaku belum dapat memberikan keterangan rinci tentang jumlah dosen yang akan masuk dalam program tersebut.

Ia juga menolak menyebutkan daftar kampus yang nantinya akan ditunjuk pemerintah. Prosedur rinci termasuk tahapan yang harus dilalui dosen untuk mendapat sertifikasi tersebut masih terus digodok Depdiknas. Kendati begitu, Satryo memastikan bahwa pemerintah akan mengatur dengan tegas agar semua dosen, baik itu yang mengajar di kampus negeri maupun swasta memiliki tempat mengajar utama atau home base.

Para dosen tetap diperbolehkan mengajar di berbagai kampus, dengan batasan jumlah tertentu yang dianggap layak. Namun, ia harus terdaftar resmi di satu kampus tertentu. Guna mewujudkan hal itu, kata Satryo, pihak kampus tetap harus memberikan kesejahteraan yang layak bagi para dosennya. Pasalnya, selama ini sebagian dosen terpaksa mengajar di berbagai kampus sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketua Pengarah Kongres Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Zoer'aini Djamal mengungkapkan sebagian besar dosen terpaksa menjadi dosen terbang untuk dapat hidup layak. Sebagian bahkan mengajar di delapan kampus sekaligus. Namun, umumnya dosen mengajar di tiga sampai empat kampus.

"Sebenarnya ketika seorang dosen mendapat jabatan akademik yang diberikan pemerintah, ia sudah terikat aturan tidak mengajar lebih dari tiga tempat," ujar Zoer'aini.

Persoalan lainnya yang tak kalah krusial, kata Zoer'aini, adalah masih rendahnya kualitas dosen di Indonesia.
Indikator utamanya adalah tingkat pendidikan. Hampir 70 persen dosen di Indonesia hanya mengantongi ijasah S1. Hal itu jelas menyalahi ketentuan. Pasalnya, pemerintah mewajibkan dosen untuk strata satu mengantongi gelar master.

"Penyebabnya macam-macam, sebagian kampus belum mampu menyekolahkan dosennya kembali. Di sisi lain, dosen juga tak mampu bersekolah kembali karena kesejahteraannya kurang," kata Zoer'aini.

Kondisi itulah, kata Zoer'aini, yang kemudian menyebabkan sebagian besar dosen makin jauh dari tataran ideal.

Kewajiban untuk melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat tentu sangat sulit direalisasikan dalam kondisi yang serba terbatas. Kesibukan dosen mengajar di berbagai kampus serta minimnya rangsangan yang diberikan kampus serta pihak industri, membuat dosen makin terpisah dari masyarakat.

Sumber : Media Indonesia online, 1 Desember 2007

Baca Selengkapnya ....

Kompetensi dan Sertifikasi Dosen

Posted by Unknown 0 comments

Oleh : Donny Gahral Adian*)

Seorang profesor di perguruan tinggi negeri terenyak saat seorang mahasiswa bertanya. Pertanyaannya sungguh di luar lingkar terjauh wawasan keilmuannya. Sejenak ia tercenung lalu mengentak, ”Saya minta pertanyaan tidak melebar dari apa yang saya terangkan!”

Mekanisme pertahanan sang profesor bertolak dari ketidaktahuannya. Alih-alih menyadari kelemahannya, ia justru mematikan iklim kuriositas. Universitas berkelas dunia? Tunda mimpi itu sebelum inkompetensi semacam ini dibenahi.

Sertifikasi dosen yang ramai dibincangkan belakangan, ibarat pahlawan kesiangan. Mutu pendidikan tinggi yang terus merosot berhulu pada inkompetensi pengajar yang tak juga dibenahi. Kita terlalu disibukkan infrastruktur yang bobrok untuk memikirkan hal ini. Kita sudah amat terlambat dalam mengurus hal ini. Tetapi sudahlah. Yang terpenting, apa yang bisa dibuat dalam suasana seperti ini.
Pertama, kita harus membuang jauh pikiran yang menyetarakan antara gelar dan kompetensi pengajaran. Banyak dosen bergelar profesor yang mengajar ala kadarnya. Alih-alih membina anak didiknya, tenaganya lebih banyak disumbangkan ke lembaga-lembaga non-akademis. Kuliah hanya sesekali dihadiri. Sisanya adalah tugas mandiri yang membebani mahasiswa. Jika ditanya, jawabannya selalu klasik: capaian finansial. Logika finansial membuat drainase pikiran berlangsung laten di dunia pendidikan tinggi kita.

Kedua, kita perlu berjarak dengan label ”selebritis akademis” yang melekat pada sebagian dosen. Dosen-dosen yang ”biasa di luar” ini tidak lagi mengabdi pada pengembangan keilmuan. Mereka hanya mempelajari apa yang bisa dijual. Akibatnya, pengetahuannya tak pernah beringsut maju. Teknologi informasi hanya dimanfaatkan untuk mencari informasi situasi politik, ekonomi, dan sosial terkini. Jurnal-jurnal internasional yang bisa diakses secara virtual tak pernah dijamah. Akibatnya, anak didik sering lebih progresif dalam keilmuan dibanding dosennya.

Kompetensi mengajar bukan sekadar teknik pedagogis, tetapi juga keluasan wawasan dan etika akademis. Jika dosen menganggap dunia akademis sebagai batu loncatan bagi karier politik, maka kualitas komitmen akademisnya pantas dipertanyakan. Profesionalitas di bidang akademis memang bukan hal yang mudah, di tengah pesona finansial lembaga-lembaga non-akademis. Namun, jika yang dipertaruhkan adalah mutu pendidikan tinggi, kita tidak bisa lagi mempertahankan dosen-dosen oportunis semacam itu. Masih banyak dosen muda yang memiliki komitmen tinggi pada dunia akademis meski tidak selebritis.

Bagaimana mengevaluasi teknik pedagogis, keluasan wawasan, dan etika akademis? Ini tentu tidak bisa diserahkan pada satu- dua lembaga secara terpusat. Ada dua sebab, pertama, pengajar yang paham betul teknik mendidik yang baik belum tentu berkualitas secara keilmuan. Kedua, jika menyangkut etika akademis dan keluasan wawasan, maka tak ada yang lebih paham selain instansi tempatnya bekerja. Karena itu, universitas yang bersangkutan mesti diberi wewenang untuk membuat tim evaluator yang berdedikasi tinggi. Tim dibentuk oleh universitas di masing-masing fakultas. Sertifikasi diberikan jika seorang pengajar lolos evaluasi di tingkat fakultas. Dengan ini kecemasan akan masifikasi sertifikat tidak lagi beralasan. Instansi yang bersangkutan akan amat selektif sebab menyangkut mutu pendidikan yang diselenggarakan.

Sertifikasi juga tidak berlaku seumur hidup. Seperti halnya akreditasi perguruan tinggi, ia diperiksa secara berkala (dua tahun sekali). Ia juga harus dibuat bertingkat mulai dari yang tertinggi (A) sampai terendah (C). Jika seorang pengajar turun nilainya sampai C, universitas (atas rekomendasi fakultas) tidak segan-segan mencabut sertifikasinya. Dengan kata lain, pengajar yang bersangkutan dianggap tidak kompeten mengajar. Ini bisa berlaku di semua universitas mengingat perguruan tinggi negeri kini sedang atau sudah menjadi BHMN.

Persoalannya, apa peran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi? Lembaga itu berfungsi sebagai regulator dan mengawasi agar regulasi yang ada benar-benar dijalankan. Fungsi evaluasi tetap diserahkan pada universitas di bawah pengawasan Dirjen Pendidikan Tinggi. Fungsi pengawasan pun sebenarnya bisa didelegasikan kepada universitas bersangkutan. Tiap universitas memiliki senat akademik universitas dan fakultas. Tim evaluator pada tiap fakultas akan diperiksa oleh senat akademik fakultas untuk kemudian diperiksa kembali di tingkat universitas.

Memang tidak mudah membenahi masalah pendidikan tinggi kita. Namun, evaluasi profesionalitas akademis (etika akademis, teknik pedagogis, wawasan) adalah langkah pertama yang penting. Kita tidak bisa mengandalkan kemauan baik tiap dosen untuk memperbaiki diri. Sebuah sistem evaluasi yang ketat dengan imbalan dan hukuman yang proporsional harus benar-benar dijalankan. Setelah itu, kita baru bisa berbicara tentang universitas berkelas dunia (world class university).

*)  Ketua Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Dunia Pendidikan.