TUJUAN PENDIDIKAN

Posted by Unknown Tuesday, April 17, 2012 0 comments

1. Tujuan pendidikan nsional menurut UU No. 2 tahun 1989 dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
2. Tujuan pendidikan pra sekolah menurut PP No. 27 tahun 1990, ialah:
Membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
3. Tujuan pendidikan pada pendidikan dasar menurut PP No. 28 tahun 1990 ialah:
Memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
4. Tujuan pendidikan pada lembaga pendidikan menengah menurut PP No. 29 tahun 1990 ialah:
a.       Meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
b.      Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitarnya.
5. Tujuan pendidikan tinggi menurut PP No. 30 tahun 1990 ialah:
a.       Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni.
b.      Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
C. TUJUAN PENGAJARAN
Program pengajaran adalah perangkat kegiatan belajar mengajar yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang kita sebut dengan tujuan instruksional. Karena penyelenggaraan pengajaran di sekolah dilakukan dalam system semester, maka program pengajaran disusun dalam dua tahap, yaitu:
1. Program semester
2. Program tatap muka (penjabaran dari program semester)
Program pengajaran untuk satu semester disebut juga silabi mata pelajaran, atau lebih dikenal dengan nama satuan program pengajaran (SPP). Program pengajaran yang disusun untuk setiap tatap muka merupakan penjabaran secara lebih terperinci dan konkret dari SPP dan disebut satuan pelajaran (SP, atau Satpel) atau satuan acara pengajaran (SAP).
Kegiatan belajar mengajar yang operasional terjadi dalam setiap tatap muka antara guru dan peserta didik di dalam kelas. Tujuan yang menjadi sasaran kegiatan belajar mengajar dalam setiap pertemuan tatap muka itu disebut tujuan instruksional khusus sebagai penjabaran dari tujuan instruksional umum.
Program pengajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan ini terdiri atas seperangkat komponen yang saling berinteraksi sehingga merupakan suatu system tersendiri. Komponenkomponen dari system itu ialah:
1.       Isi atau materi pelajaran
2.       Kemampuanpeserta didik (entering behavior)
3.       Kemampuan guru
4.       Bentuk kegiatan belajar mengajar
5.       Media dan bahan pengajaran
6.       Metode pengajaran
7.       Sumber belajar
8.       Ruang kelas dengan segala perlengkapannya
9.       Tujuan yang diharapkan, dan
10.   Analisis hasil sebagai balikan.
Menurut Bloom, taksonomi tujuan pengajaran dapat dibedakan dalam tiga kawasan (domain) yaitu:
1. Kawasan kognitif adalah tujuan yang berhubungan dengan pengetahuan pengenalan, dan keterampilan serta kemampuan intelektual.
2. Kawasan Afektif adalah tujuan yang berhubungan dengan perubahan sikap, nilai dan perkembangan moral dan keyakinan
3. Kawasan psikomotorik adalah tujuan yang berhubungan dengan keterampilan motorik.
 Ketiga kawasan tujuan tersebut pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, saling berinterpenetrasi sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
Taksanomi tujuan pengajaran pada kawasan kognitif menurut Bloom terdiri atas enam tingkatan yang susunannya sebagai berikut :
1. Pengetahuan (knowledge) adalah kemampuan untuk mengenal atau mengingat kembali sesuatu objek, ide, prosedur, prinsip atau teori yang pernah ditemukan dalam pengalaman tanpa memanipulasikannya dalam bentuk atau symbol lain.
2. Pemahaman (comprehension) adalah kegiatan mental intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah diketahui, perilaku yang dapat didemontrasikan yang menunjukkan bahwa kemampuan mengerti, memahami yang telah dikuasai antara lain ialah dapat menjelaskan dengan kata-kata sendiri, dapat membandingkan, dapat membedakan dan dapat mempertimbangkankemampuan-kemampuan yang tergolong dalam taksonomi ini, adalah:
a. Translasi, yaitu kemampuan untuk mengikuti symbol tertentu menjadi symbol lain tanpa perubahan makna
b. Interpretasi yaitu kemampuan menjelaskan makna yang terdapat di dalam simbol, baik symbol verbal maupun yang non verbal. Dapat menginterpretasikan konsep atau prinsip dan dapat menjelaskan secara rinci makna, dapat membandingkan, membedakan, atau mempertentangkannya dengan sesuatu yang lain.
c. Ekstrapolasi yaitu kemampuan untuk melihat kecenderungan atau arah atau kelanjutan dari suatu temuan.
3. Penerapan (Application) adalah kemampuan untuk menggunakan konsep, prinsip, prosedur atau teori tertentu pada situasi tertentu.
4. Analisis (Analysis) adalah kemampuan untuk menguraikan suatu bahan (fenomena atau bahan pelajaran) ke dalam unsur-unsurnya, kemudian menghubung hubungkan bagian dengan bagian lain disusun dan diorganisasikan.
5. Syntesis (Synthesis) adalah kemampuan untuk mengumpulkan dan mengorganisasikan semua unsur atau bagian sehingga membentuk satu keseluruhan secara utuh. Dengan kata lain, kemampuan untuk menampilkan pikiran secara orisinil atau inovatif
6. Evaluasi (Evaluation) adalah kemampuan untuk mengambil keputusan, menyatakan pendapat atau memberi penilaian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun kuantitatif.
Taksonomi tujuan pengajaran pada kawasan afektif penggolongannya dikategorikan dalam lima jenis taksonomi yang terurut secara bertahap yaitu:
1. Penerimaan (Receiving/Attending), diperinci dalam tiga tahap
a)   Kesiapan untuk menerima (awarness) yaitu adanya kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (program pengajaran, bahan bacaan, tontonan).
b)   Kemauan untuk menerima (Willingness To Receives) yaitu usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan.
c)    Menghususkan perhatian (Controlled Or Selected Attention) pada bagian tertentu dari stimulus yang diperhatikan.
2. Penanggapan (Responding),proses ini terdiri atas tiga tahap yaitu:
a)      Kesiapan Menanggapi ( Acquiescence Of Responding)
b)      Kemauan Menanggapi ( Willingness To Respond)
c)       Kepuasan menanggapi (Satisfaction In Response)
3. Penilaian (Valuing)pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi yaitu proses untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi. Proses ini terbagi atas empat tahap sebagai berikut:
a)      Menerima nilai (Acceptance Of Value)
b)      Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (Preference For A Value)
c)       Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan tertentu yang muncul
d)      dari rangkaian pengalaman.
4. Pengorganisasian (Organization), tahap ini tidak hanya menginternalisasi satu nilai tertentu tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu system nilai, terdiri dari dua tahapan sebagai berikut.
a)      Konseptualisasi nilai yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain atau menemukan asumsi-asumsi yang mendasari suatu kebiasaan
b)      Pengorganisasian system nilai, menyusun perangkat nilai dalam suatu system nilai berdasarkan
tingkat preferensinya
5. Karakterisasi (Characterization) yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan system nilai. Proses ini terdiri dari dua tahapan yaitu.
a)      Generalisasi yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut pandang
tertentu
b)      Karakteristik yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang memberi corak
tersendiri pada kepribadian diri yang bersangkutan
Taksonomi Tujuan Pengajaran pada Kawasan Psikomotorik adalah pengajaran pada kawasan ini menuntut pengembangan keterampilan dalam bidang tertentu. Taksonomi Psikomotorik dapat disederhanakan dalam lima tahap yatu:
1.       Kesiapan (Set)
2.       Meniru (Imitation)
3.       Membiasakan (Habitual)
4.       Menyesuaikan (Adaptation)
5.       Menciptakan (Origination)

Baca Selengkapnya ....

KOMPONEN STRATEGI BELAJAR-MENGAJAR

Posted by Unknown 0 comments

Komponen-komponen tersebut adalah:
1. Tujuan pengajaran
Tujuan pengajaran merupakan acuan yang dipertimbangkan untuk memilih strategi belajar mengajar.
2. Guru
Masing-masing guru berbeda dalam pengalaman, pengetahuan, kemampuan menyajikan pelajaran, gaya mengajar, pandangan hidup dan wawasan. Perbedaan ini mengakibatkan adanya perbedaan dalam pemilihan strategi belajar mengajar yang digunakan dalam program pengajaran.
3. Peserta didik
Dalam kegiatan belajar mengajar peserta didik mempunyai latarbelakang yang berbeda-beda, hal ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun strategi belajar mengajar yang tepat
4. Materi pelajaran
Materi pelajaran dapat dibedakan antara materi formal (isi pelajaran dalam buku teks resmi/buku paket di sekolah) dan materi informal (bahan-bahan pelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah)
5. Metode pengajaran
Ada berbagai metode pengajaran yang perlu dipertimbangkan dalam strategi belajar mengajar
6. Media pengajaran
Keberhasilan program belajar mengajar tidak tergantung dari canggih atau tidaknya media yang digunakan, tetapi dari ketepatan dan keefektifan media yang digunakan.
7. Faktor administrasi dan finansial
Terdiri dari jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar.


Baca Selengkapnya ....

PROFIL KEMAMPUAN DASAR GURU

Posted by Unknown 0 comments

1. MENGUASAI BAHAN
1.1. Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah
a. Menguasai bahan dari metodologi pengajaran 4 (empat) bidang studi di SD (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS)
b. Menguasai bahan biang studi dalam kurikulum SPG
2. MENGELOLA PROGRAM BELAJAR MENGAJAR
1.1.  Merumuskan tujuan instruksional
1.2.  Mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar
1.3.  Memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat
1.4.  Melaksanakan program belajar mengajar
1.5.  Mengenal kemampuan (entering behavior) anak didik
1.6.  Merencanakan dan melaksanakan program remedial
3. MENGELOLA
1.1.  Mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran KELAS
1.2.  Menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi
4. MENGGUNAKAN MEDIA/SUMBER
5. MENGUASAI LANDASAN-LANDASAN KEPENDIDIKAN
6. MENGELOLA INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR
7. MENILAI PRESTASI SISWA UNTUK KEPENDIDIKAN PENGAJARAN
7.1. Mengenal memilih dan menggunakan media
7.2. membuat alat-alat Bantu pelajaran sederhana
7.3. Menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar
7.4. Mengembangkan laboratorium
7.5. Menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar
7.6. Menggunakan microteaching unit dalam program pengalaman lapangan
8. MENGENAL FUNGSI DAN PROGRAM PELAYANAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN
8.1. Mengenal fungsi dari program layanan dan penyuluhan di sekolah
8.2. Menyelenggarakan program layanan bimbingan di sekolah
9. MENGENAL DAN MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI SEKOLAH
10. MEMAHAMI DAN MENAFSIRKAN HASIL-HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN GUNA KEPERLUAN PENGAJARAN
10.1. Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah  
10.2. Menyelenggarakan administrasi sekolah

Baca Selengkapnya ....

Akhlak Menurut Pandangan Islam

Posted by Unknown 0 comments

Untuk menyempurnakan rangkaian pembahasan ini, kami melihat ada satu topik penting yang banyak diperbincangkan orang dan pengaruhnya cukup besar dalam kehidupan masyarakat ataupun individu. Topik tersebut adalah tentang akhlak dalam pandangan Islam.

Seperti telah diketahui, agama Islam mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya ; hubungan manusia dengan dirinya ; serta hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Penciptanya tercakup dalam masalah akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya diatur dengan hukum akhlak, makanan dan minuman, serta pakaian. Selain itu, hubungan manusia dengan sesamanya, diatur dengan hukum muamalah dan ‘uqubat ( sanksi ).

Islam telah memecahkan persoalan hidup manusia secara menyeluruh dengan menitikberatkan perhatiannya kepada umat manusia secara integral, tidak terbagi-bagi. Dengan demikian, kita melihat Islam menyelesaikan persoalan manusia dengan metode yang sama, yaitu membangun semua solusi persoalan tersebut di atas dasar akidah, yaitu asas rohani tentang kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah, kemudian dijadikan asas peradaban Islam, asas syariat Islam, dan asas negara.

Syariat Islam telah menopang sistem kehidupan dan memerinci aturannya. Ada peraturan ibadah, muamalah, dan ‘uqubat. Syariat Islam tidak mengkhususkan akhlak sebagai pembahasan yang berdiri sendiri, namun Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak dengan anggapan bahwa akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah Swt. tanpa melihat lagi apakah akhlak harus diberi perhatian khusus, melebihi hukum dan ajaran Islam yang lain. Bahkan, pembahasan akhlak tidak begitu banyak sehingga tidak dibuat bab tersendiri dalam fiqih. Para fuqaha (ulama fiqih) dan mujtahid tidak menitikberatkan pembahasan dan penggalian hukum dalam masalah akhlak.

Dalam kitab-kitab fiqih yang meliputi hukum syara’ tidak ditemukan bab khusus tentang akhlak. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan akhlak tidak berpengaruh langsung terhadap tegaknya suatu masyarakat. Masyarakat tegak dengan peraturan-peraturan hidup, serta dipengaruhi oleh perasaan dan pemikiran yang merupakan kebiasaan umum, hasil dari pemahaman hidup yang dapat menggerakkan masyarakat. Karena itu, yang menggerakkan masyarakat bukanlah akhlak, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan di tengah masyarakat, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan yang ada pada masyarakat. Akhlak sendiri adalah buah dari pemikiran, perasaan, dan penerapan aturan.

Ketika akhlak tidak mampu menegakkan dan menggerakkan masyarakat, bolehkah kita mendakwahkan akhlak di tengah-tengah masyarakat?

Tanpa ragu lagi kita mengatakan bahwa berdakwah kepada akhlak adalah tidak boleh. Hal ini karena akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah dan larangan Allah Swt. yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Di samping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat memutarbalikkan persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia dari pemahaman yang benar tentang hakikat masyarakat dan pembentukannya. Bahkan, dapat membuat manusia salah menduga bahwa keutamaan dan kelebihan individu dapat membangun umat dan masyarakat, selain mengakibatkan kelalaian dalam melangkah menuju kemajuan hidup.

Dengan demikian, dakwah seperti ini akan memunculkan anggapan bahwa dakwah Islam itu hanya pada akhlak semata, kemudian bisa mengaburkan gambaran utuh pemikiran Islam. Lebih dari itu, dapat menjauhkan masyarakat dari satu-satunya metode dakwah yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islam di muka bumi.

Bukankah akhlak tetap merupakan bagian dari pengaturan interaksi manusia dengan dirinya, lalu mengapa tidak ada sistem khusus bagi akhlak?

Hal ini dikembalikan pada realitas bahwa Syariat Islam pada saat mengatur hubungan manusia dengan dirinya melalui hukum syara’ yang berkaitan dengan sifat akhlak, tidak menjadikannya sebagai aturan tersendiri seperti halnya aturan ibadah dan muamalah. Akan tetapi, akhlak dijadikan bagian dari perintah dan larangan Allah, untuk merealisasikan nilai khuluqiyah (nilai-nilai akhlak).

Seorang Muslim ketika menyambut seruan Allah untuk berlaku jujur, maka dia akan jujur. Apabila Allah memerintahkannya untuk amanah, dia akan amanah. Begitu pula apabila Allah melarang curang dan berbuat dengki, dia akan menjauhinya. Dengan demikian, akhlak dapat dibentuk hanya dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah Swt. untuk merealisasikan akhlak, yaitu budi pekerti luhur dan amal kebajikan. Sifat-sifat ini muncul karena hasil perbuatan, seperti sifat ‘iffah (menjaga kesucian diri) muncul dari pelaksanaan shalat.

Sifat-sifat tersebut juga muncul karena memang wajib diperhatikan saat melakukan berbagai kegiatan interaksi, seperti jujur yang harus ada saat melakukan jual beli. Meski aktivitas jual beli tidak otomatis menghasilkan nilai akhlak karena nilai tersebut bukan tujuan dari transaksi jual beli.

Jadi, sifat ini muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan atau sebagai perkara yang mesti diperhatikan saat melakukan satu perbuatan. Karena itu, seorang Mukmin dapat memperoleh nilai rohani dari pelaksanaan shalatnya, dalam contoh lain, dia memperoleh nilai materi dalam transaksi perdagangannya, serta pada saat yang sama telah memiliki sifat-sifat akhlak yang terpuji.

Seperti apa sifat akhlak yang baik dan yang buruk dalam pandangan syara’?

Allah Swt. telah memerintahkan jujur, amanah, punya rasa malu, berbuat baik pada kedua orang tua, silaturahmi, menolong orang dalam kesulitan, dan sebagainya. Semuanya merupakan sifat akhlak yang baik dan Allah Swt. menganjurkan kita terikat dengan sifat-sifat ini. Sebaliknya, Allah Swt. melarang sifat-sifat yang buruk, seperti berdusta, khianat, dengki, durhaka, melakukan maksiat, dan sebagainya.

Bagaimana menanamkan sifat-sifat baik ini pada jiwa individu dan masyarakat?
Menanamkan sifat-sifat baik pada masyarakat dapat dicapai dengan mewujudkan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran Islam. Setelah hal ini terwujud di tengah-tengah masyarakat, maka pasti akan terbentuk pula dalam diri individu-individu.

Bagaimana hal itu bisa diwujudkan?

Sebagai langkah awal, harus ada kelompok atau jamaah Islam yang mengamalkan Islam secara keseluruhan, tidak hanya menganjurkan untuk terikat pada akhlak semata. Individu-individu yang ada dalam jamaah itu merupakan satu kesatuan, bukan individu yang terpisah-pisah. Mereka mengemban dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, mewujudkan pemikiran dan perasaan Islam. Apabila demikian, seluruh anggota masyarakat akan memiliki akhlak, setelah mereka berbondong-bondong kembali kepada Islam.

Penjelasan ini menjadikan kita bertanya tentang sifat-sifat yang harus menjadi unsur utama individu?

Ada empat sifat yang wajib dimiliki serta dicapai oleh individu, yaitu sifat-sifat yang menyangkut masalah akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Empat hal ini tidak boleh dipisahkan pada pribadi seseorang sehingga harus selalu lengkap dan sempurna. Sekalipun hanya satu dari unsur itu yang hilang, maka tidak akan tercapai kesempurnaan pribadi individu. Apabila kita membaca al-Quran pada surat Luqman (31) ayat 13-19 yang dimulai dengan ayat, “Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat memberinya pelajaran, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar’ dan diakhiri dengan ayat, “Berbuat sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai”. Kita akan mendapati bahwa keempat unsur itu ada di sana.

Demikian pula dalam surat al-Furqan (25) ayat 63, “Hamba-hamba yang baik dari Robb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Ketika orang-orang jahil menyapa mereka, mereka ucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”, hingga ayat 76, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman”.

Kita dapati pula dalam surat al-Isra (17) saat kita membaca ayat 23, “Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya” hingga ayat 37, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatan yang amat dibenci di sisi Rabbmu”. Semua ayat yang ada pada ketiga surat tersebut merupakan satu kesatuan yang sempurna dalam menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam, yang membentuk identitas seorang Muslim dan menjelaskan kepribadian Islam yang khas sehingga berbeda dengan umat yang lain.

Apa yang menarik perhatian kita saat membaca semua ayat tadi?

Kita perhatikan bahwa sifat-sifat akhlak merupakan perintah dan larangan Allah Swt. Sebagian isi ayat-ayat tersebut merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah, sebagian lainnya berkaitan dengan ibadah, muamalah, dan akhlak. Dapat dilihat pula, bahwa isinya tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi juga mencakup akidah, ibadah, muamalah, di samping akhlak. Sifat-sifat inilah yang dapat membentuk kepribadian Islam yang khas. Membatasi pengambilan hukum hanya pada salah satu dari empat unsur ini, seperti akhlak misalnya, berarti meniadakan terbentuknya kepribadian yang sempurna dan kepribadian yang Islami.

Untuk mencapai tujuan akhlak, hendaklah dilandaskan pada fondasi rohani, yakni akidah Islam, serta sifat-sifat ini harus dilandaskan pada akidah semata. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak akan memiliki sifat jujur semata-mata karena kejujuran itu sendiri, tetapi karena Allah Swt. memerintahkan demikian. Meskipun demikian, dia tetap mempertimbangkan terwujudnya nilai akhlak ketika berbuat jujur. Dengan demikian, akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena dibutuhkan oleh manusia, tetapi ia merupakan perintah Allah.

Kemudian, sifat akhlak ini adakalanya diperoleh melalui ibadah, sebagai pelaksanaan dari perintah Allah Swt. dalam firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al-Ankabut [29]: 45). Wajib pula diperhatikan perolehan sifat akhlak dalam muamalah, sesuai dengan sabda Rasul saw., “Agama itu adalah muamalah”. Di samping itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah dan larangan Allah Swt. yang bisa mengokohkan jiwa seorang Muslim.

Kita melihat sifat-sifat tersebut menyatu satu sama lain, bagaimana kita memilah-milahnya dari unsur-unsur kepribadian seorang Muslim yang lainnya?

Memang benar, sifat-sifat akhlak menyatu dengan aturan hidup yang lain yaitu akidah, ibadah, dan muamalah. Namun, akhlak tetap merupakan sifat-sifat yang berdiri sendiri. Misalnya, seseorang beriman, tetapi dia berdusta sehingga kita melihat bahwa Rasul telah memerintahkan seorang Mukmin untuk menghiasi diri dengan sifat jujur. Terkadang pula seseorang itu melakukan shalat dan melakukan penipuan.

Karena itu, kita melihat Rasulullah memerintahkan Muslim untuk menjauhi perbuatan penipuan dengan sabdanya, “Bukan termasuk golongan kami orang yang suka menipu” atau dalam riwayat lain beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan penipuan tidak termasuk golongan kami”. Kadang seseorang itu berbuat khianat, karena itu kita melihat Rasulullah sangat menekankan seorang Muslim untuk memegang amanah ketika bekerja sama dalam perdagangan. Dengan demikian, sifat-sifat akhlak yang menyatu dengan aturan hidup lainnya, pada saat bersamaan merupakan sifat yang terpisah dari setiap aturan.

Disatukannya akhlak dengan aturan hidup lainnya, maksudnya Islam menghendaki adanya jaminan pembentukan pribadi Muslim yang saleh dan sempurna di atas dasar rohani, yang merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah Swt. atau menjauhi larangan-Nya. Hal itu bukan berdasarkan pada manfaat atau mudharat yang ada pada sifat-sifat tersebut.

Inilah yang menjadikan seorang Muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus-menerus dan konsisten, selama dia berupaya melaksanakan ajaran Islam dan selama tidak memperhatikan aspek manfaat. Akhlak tidak ditujukan semata-mata untuk kemanfaatan. Bahkan, pandangan terhadap manfaat itu harus dijauhkan.

Tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu, nilai-nilai ini tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak agar tidak terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu diperhatikan di sini, nilai materi harus dijauhkan dari akhlak karena akan menghasilkan pelaksanaan akhlak yang hanya mencari keuntungan. Justru, hal ini akan sangat membahayakan akhlak.

Ini semua dikaitkan dengan pembentukan akhlak pada individu, kemudian di mana peran akhlak dalam membentuk masyarakat?

Akhlak adalah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu. Tentu saja secara pasti, akhlak sebagai salah satu dasar pembentuk masyarakat tidak akan diabaikan begitu saja. Suatu masyarakat tidak akan baik kecuali ketika akhlaknya baik. Namun, masyarakat tidak akan menjadi baik hanya dengan akhlak, tetapi dengan dibentuknya pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan Islami, serta diterapkannya aturan di tengah-tengah masyarakat itu.

Unsur-unsur pembentukan masyarakat berbeda dengan unsur-unsur pembentukan individu. Unsur pembentuk masyarakat lebih luas sifatnya, sebagai contoh akidah Islam harus ada pada masyarakat, demikian pula pada individu. Praktiknya di masyarakat tidak berhenti pada aturan-aturan indivdu, tetapi lebih luas dari itu, yaitu mencakup seluruh pemikiran Islam yang terkait dengan akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak.

Demikian pula pada masyarakat tersebut harus ada perasaan-perasaan Islami yang terbentuk dari adanya kecenderungan, keinginan, serta perasaan yang diatur dengan hukum halal dan haram. Kondisi seperti ini akan membentuk adat istiadat dan kebiasaan yang Islami pada saat seorang individu Muslim di dalam masyarakat tersebut akan menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang berguna bagi masyarakat umum. Di dalam masyarakat harus ada penerapan aturan Islam yang mengatur interaksi antarindividu ataupun kelompok.
Demikianlah, unsur pembentukan masyarakat lebih luas dari unsur pembentukan individu, sekalipun unsur pembentukan individu telah tercakup di dalamnya.

Dari sini, dapat dipastikan bahwa perbaikan, individu harus senantiasa diikuti dengan perbaikan masyarakat. Hal ini sebagaimana dapat pula dipastikan tidak akan terjadi perbaikan masyarakat tanpa adanya perbaikan individu. Jadi, sekalipun di dalam suatu masyarakat banyak orang-orang saleh, selama yang mengatur interaksi yang terjadi di masyarakat itu bukan perasaan yang diarahkan oleh pemikiran dan aturan Islam, maka tidak akan terjadi perbaikan individu dan masyarakat.

Dengan demikian, akhlak bukanlah unsur pembentuk masyarakat, melainkan termasuk unsur pembentuk individu. Seorang individu tidak akan menjadi baik karena akhlak semata, tetapi harus ada aturan lain, yaitu akidah, ibadah, dan muamalah, ketika individu tersebut terikat dengan semua aturan itu. Ini berarti, seseorang tidak diakui sebagai Muslim apabila mempunyai akhlak yang baik, tetapi tidak meyakini akidah Islam. Begitu pula sama halnya apabila individu itu berakhlak baik, tetapi melalaikan ibadah atau bermuamalah yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’.

Walhasil, supaya perbaikan individu berjalan sempurna, diperlukan adanya hukum-hukum akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak yang berhubungan secara sinergis. Apabila salah satu darinya tidak ada, perbaikan individu yang sempurna tidak akan tercapai. Hal ini menegaskan bahwa tidak diperbolehkan melakukan dakwah yang diarahkan pada akhlak semata dalam rangka perbaikan individu, sedangkan sifat yang lainnya diabaikan. Bahkan, tidak diperbolehkan memfokuskan sesuatu sebelum perkara akidah selesai. Hal ini sebagaimana harus juga diperhatikan hendaknya akhlak didasarkan pada akidah Islam agar seorang Mukmin memiliki sifat-sifat yang didasarkan pada perintah dan larangan Allah Swt.
Diskusi

Tanya: Apakah hubungan antara manusia dengan penciptanya hanya diatur dalam hukum akidah dan ibadah?

Jawab: Benar, perintah dan larangan Allah Swt. sangat banyak, tetapi yang mengatur hubungan langsung antara Pencipta dengan makhluk hanya diatur dalam hukum akidah dan ibadah. Adapun muamalah dan ‘uqubat mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hukum akhlak mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Tanya: Bagaimana Islam menyelesaikan persoalan manusia secara integral dan tidak terpisah-pisah?

Jawab: Hal ini terjadi manakala akidah Islam, yaitu keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Pencipta manusia dan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan perintah dan larangan-Nya menjadi satu-satunya asas dalam menyelesaikan persoalan manusia.

Tanya: Apakah dalam kitab-kitab fiqih seluruh mazhab terdapat bab dan pasal yang menerangkan hubungan manusia dengan tiga pihak, yaitu hubungannya dengan Pencipta, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri?

Jawab: Benar. Di dalam kitab-kitab tersebut pembahasan ini banyak diuraikan. Namun, penjelasannya mencakup hubungan manusia dengan Pencipta dan hubungan dengan sesamanya. Tidak ada bab dan pasal khusus yang menjelaskan akhlak karena akhlak merupakan bagian yang tercakup dalam perintah dan larangan Allah.

Tanya: Mengapa tidak ada pembahasan khusus tentang akhlak di dalam fiqih Islam?

Jawab: Fiqih (hukum) Islam meliputi aturan interaksi yang terjadi di masyarakat. Adapun akhlak ditujukan untuk individu dan tidak mempengaruhi pembentukan masyarakat. Keberadaan akhlak sangat diperlukan dalam membentuk kepribadian individu sebagai bagian dari masyarakat.

Tanya: Apakah ada kaitannya ‘urf (kebiasaan) umum di masyarakat dengan akhlak?

Jawab: Ada. ‘Urf masyarakat terbentuk dari pemikiran dan pemahaman yang digunakan dalam mengatur kehidupan. Sementara itu, akhlak sebagai sifat dari seorang Muslim adalah hasil dari pemikiran dan pemahaman sesuatu dalam kehidupan yang ada pada diri seorang Muslim. Jadi, antara ‘urf dengan akhlak ada keterkaitan. Sebagai contoh, apabila dikatakan sifat jujur sudah menjadi ‘urf dalam masyarakat Muslim, itu artinya masyarakat tersebut telah diliputi suasana yang kuat dalam menjalankan perintah dan larangan Allah. Misalnya pula, kebohongan telah menyebar di masyarakat sehingga menjadi kebiasaan umum, ini merupakan hasil dari tidak adanya keterikatan terhadap perintah dan larangan Allah di dalam masyarakat tersebut.

Tanya : Apa maksud dari dakwah menyeru pada akhlak?

Jawab: Maksudnya, individu beserta masyarakat diseru untuk terikat dengan akhlak dengan dugaan bahwa akhlak merupakan unsur pembentuk individu dan juga masyarakat. Padahal, tidak mungkin dalam kondisi apa pun, menjadikan akhlak satu-satunya unsur pembentuk masyarakat.

Tanya : Jika demikian, apa maksud dari syair, “Sesungguhnya eksistensi umat mana pun ditentukan oleh akhlaknya, apabila akhlak telah hilang, maka hilang pula umat”?

Jawab: Syair tersebut merupakan ungkapan rasa sedih ketika melihat kondisi kaum Muslim yang meninggalkan syariat. Diduga syair tersebut dipengaruhi oleh tuduhan-tuduhan asing terhadap Islam bahwasanya umat terbentuk karena akhlak. Lalu, jika kaum Muslim menghendaki eksistensi mereka, sudah seharusnya mereka mengikatkan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak yang buruk.

Tanya: Namun, syair ini berbicara tentang umat, bukan tentang masyarakat. Apa perbedaan umat dengan masyarakat?

Jawab: Antara umat dan masyarakat terdapat perbedaan yang besar. Umat adalah kumpulan individu yang menganut suatu akidah beserta aturannya tanpa melihat lagi penerapannya di dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana umat Islam yang memeluk Islam, tapi tidak menerapkan aturan yang terpancar dari akidah Islam dalam kehidupannya. Adapun masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup berdasarkan aturan akidah yang dianutnya dan seluruh aspek kehidupannya ditata sesuai dengan aturan tersebut. Akhlak tidak dapat membentuk umat dan masyarakat, akhlak tetap merupakan unsur pembentuk individu.

Tanya: Untuk memperbaiki individu di masyarakat, apakah cukup dengan akhlak saja, ataukah harus ada unsur-unsur lain?

Jawab: Akhlak saja tidak cukup untuk memperbaiki pribadi seseorang karena akhlak salah satu bagian dari kepribadian. Untuk itu, seorang individu harus diberikan pemikiran akidah, ibadah, dan muamalah–di samping akhlak–yang diperlukan dalam hidupnya bersama yang lain.

Tanya: Mengapa akhlak bukan termasuk unsur pembentuk masyarakat? Padahal, individu-individu di dalam masyarakat diminta untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat terpuji ketika berinteraksi satu sama lain?

Jawab: Seorang individu ketika berbuat jujur dalam bermuamalah, sesungguhnya dia telah berhias dengan sifat baik yang telah Allah perintahkan. Sifat jujur ini menyatu dengan aktivitas perdagangan yang ia lakukan dalam mencari manfaat dan keuntungan materi, serta ketika mencari rizki dalam kehidupannya. Sifat jujur di sini bukan bagian dari aktivitas perdagangan karena jujur tidak ada kaitannya dengan perolehan manfaat materi yang menjadi tujuan aktivitas bisnis.

Adapun hubungan sifat jujur dalam muamalah ini adalah bahwa Allah Swt. telah memerintahkan individu tersebut untuk bermuamalah secara benar dan jangan melakukan kecurangan. Demikian pula dalam aktivitas ibadah, ketika seseorang melakukan shalat dia akan melakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, bukan untuk yang lain. Lalu, dia tidak akan berbuat nifak (menjadi munafik). Dalam kondisi itulah akhlak yang baik menyatu dalam setiap aktivitas kehidupan.

Jadi, ketika akhlak dilakukan dengan anggapan bahwa akhlak adalah perintah Allah, maka seseorang akan meraih nilai akhlak. Dengan demikian, akhlak–yang merupakan perintah dan larangan Allah–akan menyebar dalam bentuk pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan, bukan sebagai bagian tersendiri yang terpisah, serta bukan suatu pengistimewaan.

Tanya : Selama akhlak memiliki posisi dalam kehidupan individu ataupun masyarakat, lalu bagaimana dengan propaganda atau slogan yang menyerukan perbaikan (akhlak) umat dan masyarakat?

Jawab: Ketika masyarakat dunia Islam berinteraksi dengan masyarakat dunia lainnya, efek sampingnya mulai terasa pada pemikiran-pemikiran Islam akibat adanya propaganda Barat tentang Islam dan kaum Muslim. Seperti yang telah diketahui, gerakan-gerakan yang muncul sepanjang masa pemerintahan Islam sebelum khilafah runtuh, memfokuskan dakwah kepada masyarakat, serta tidak terlihat menyeru kepada perbaikan akhlak, kecuali setelah hancurnya tatanan kehidupan masyarakat disebabkan runtuhnya kekhilafahan. Saat itu, dakwah mulai difokuskan pada perbaikan individu. Dakwah seperti ini merupakan tindakan pembelaan terhadap Islam dan pemeluknya.

Dakwah seperti ini memiliki cara pandang yang sama dalam memandang individu dan masyarakat sebagaimana cara pandang Barat Kapitalis Demokratis, yang memandang kehidupan sarat dengan kebebasan individu. Berbeda dengan pandangan Islam tentang masyarakat, Kapitalisme memandang masyarakat sebagai kumpulan individu. Adapun Sosialisme memandang tidak ada kebebasan bagi individu, pilihan individu dalam Sosialisme hanyalah menjadi gigi atau jari-jari dalam roda. Perang pemikiran yang disusupkan ke negeri-negeri Islam melalui cara berpikir kaum Muslim, telah menjadikan mereka terbelenggu dengan pemikiran individualis demokratis.

Akhirnya, mereka tidak memperhatikan dakwah pada Islam, yang mereka pikirkan adalah dakwah Individualistis. Karena akhlak merupakan salah satu unsur pembentuk individu dan tampak pada saat individu tersebut melakukan ibadah dan muamalah, maka propaganda dakwah mereka tujukan pada akhlak.

Demikianlah Barat dengan kebencian dan kelicikannya menjauhkan para aktivis dakwah Islam–yang jumlahnya banyak dan tinggi semangatnya, meskipun mereka berniat baik–dari hakikat dakwah Islam. Saat ini, Barat telah berhasil melakukannya. Padahal, semestinya dakwah dilakukan seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu dakwah pada akidah Islam yang menjadi asas dalam pengaturan peradaban Islam.

Adapun akhlak wajib dipisahkan, yaitu hanya sebagai unsur pembentuk individu, kemudian yang dijadikan sebagai unsur pembentuk masyarakat, yaitu dalam bentuk pemikiran, perasaan, dan penerapan aturan Islam. Dengan demikian, yang menjadi asas pembentukan masyarakat Islam dan pengaturan interaksinya adalah akidah Islam dan bukan dengan akhlak Islam.

Alhamdulillah wa Syukrillah

Sumber : http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/akhlak-menurut-pandangan-islam.html


Baca Selengkapnya ....

Kendala Dalam Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Posted by Unknown 0 comments

Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S 2004 adalah:
  1. Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down).
  2. Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
  3. Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
  4. Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
  5. Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.
  6. Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
  7. Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.
  8. Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
  9. Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
  10. Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.
Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah, sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.
Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.

Tugas melayani masyarakat yang belum dilaksanakan dan kecenderungan berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.

Kebutuhan masyarakat yang beragam dan merasa belum terlayani dengan baik menyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar.

Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan kebendaan atau badani dan kurang memperhatikan pendidikan menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan dan mereka lebih disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah.
Masyarakat masih memiliki budaya statis , merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka.

Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.

Kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat. Adanya keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.

Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan daerah.

Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota.

Sekolah dan masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.

Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang bermutu.

Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari pusat dengan pola DIP ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.

Sumber : http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/kendala-dalam-mengimplementasikan.html


Tags : Kendala Dalam Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Dunia Pendidikan.