Showing posts with label Pengembangan. Show all posts
Showing posts with label Pengembangan. Show all posts

Konsep Pendidikan Karakter

Posted by Unknown Thursday, October 13, 2011 0 comments

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.


Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu jugamemiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampubertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya(perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagaithe golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Baca Selengkapnya ....

Teori Belajar Gagne

Posted by Unknown Saturday, May 7, 2011 0 comments

Teori Belajar Gagne

Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya saling berinteraksi. Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S - R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat dria. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.

Objek Belajar Matematika

Menurut Gagne belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.

Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam matematika seperti simbol-simbol matematika. Fakta bahwa 2 adalah simbol untuk kata ”dua”, simbol untuk operasi penjumlahan adalah ”+” dan sinus suatu nama yang diberikan untuk suatu fungsi trigonometri. Fakta dipelajari dengan cara menghafal, drill, latiahan, dan permainan.

Keterampilan(Skill) adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. contohnya, keterampilan melakukan pembagian bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan dan perkalian pecahan desimal. Para siswa dinyatakan telah memperoleh keterampilan jika ia telah dapat menggunakan prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat.keterampilan menunjukkan kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat.

Konsep adalah ide abstrak yang memunkinkan seseorang untuk mengelompokkan suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Contoh konsep himpunan, segitiga, kubus, lingkaran. siswa dikatakan telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat membedakan contoh dan bukan contoh. untuk sampai ke tingkat tersebut, siswa harus dapat menunjukkan atribut atau sifat-sifat khusus dari objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh.

Prinsip adalah pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Prinsip merupakan yang paling abstrak dari objek matematika yang berupa sifat atau teorema. Contohnya, teorema Pytagoras yaitu kuadrat hipotenusa pada segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Untuk mengerti teorema Pytagoras harus mengetahui konsep segitiga siku-siku, sudut dan sisi. Seorang siswa dinyatakan telah memahami prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta dapat menggunakannya pada situasi yang tepat.

Fase-fase Belajar

Menurut Gagne belajar melalui empat fase utama yaitu:

  1. Fase pengenalan (apprehending phase). Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi belajar.
  2. Fase perolehan (acqusition phase). Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru dengan menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
  3. Fase penyimpanan (storage phase). Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
  4. Fase pemanggilan (retrieval phase). Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.

Keempat fase belajar manusia ini telah disatukan menyerupai model sistem komputer, meskipun sedikit lebih kompleks daripada yang ada pada manusia. komputer menangkap rangsangan listrik dari pengguna komputer, memperoleh stimulus dalam central processing unit, menyimpan informasi dalam stimulus pada salah satu bagian memori, dan mendapatkan kembali informasi pada penyimpanannya. jika siswa mempelajari prosedur menentukan nilai pendekatan akar kuadrat dari bilangan yang bukan kuadrat sempurna, mereka harus memahami metode, memperoleh metode, menyimpan di dalam memori, dan memanggil kembali ketika dibutuhkan. untuk membantu siswa melangkah maju melalui empat tahap dalam mempelajari algoritma akar kuadrat, guru menimbulkan pemahaman dengan mengerjakan suatu contoh pada papan tulis, memudahkan akusisi setelah setiap siswa mengerjakan contoh dengan mengikutinya, langkah demi langkah, daftar petunjuk, membantu penyimpanan dengan memberikan soal-soal untuk pekerjaan rumah, dan memunculkan pemanggilan kembali dengan memberikan kuis pada hari berikutnya.

Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, fase generalisasi adalah fase transer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu.

Tipe Belajar

Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke delapan tipe belajar, dengan tipe belajar yang rendah merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Belajar Isyarat (Signal Learning)

Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional, selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai.

Beberapa ucapan kasar untuk mempermalukan, siswa yang gelisah pada saat pelajaran matematika mungkin karena kondisi tidak suka matematika pada orang itu. Belajar isyarat sukar dikontrol oleh siswa dan dapat mempunyai pengalaman yang pantas dipertimbangkan pada tindakannya. konsekuensinya, seorang guru matematika, seharusnya mencoba membangkitkan stimulus yang tidak dikondisikan yang akan menimbulkan perasaan senang pada siswa dan berharap mereka akan mengasosiasikan beberapa perasaan senang dengan isyarat netral pada pelajaran matematika. Apabila perlakuan yang disenangi membangkitkan hal-hal positif, stimulus yang tidak diharapkan mungkin gagal menimbulkan asosiasi keinginan positif dengan isyarat netral, kecerobohan menimbulkan stimulus negatif, pada satu waktu akan merusak keinginan siswa untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan.

Belajar Stimulus-Respons (Stimulus-Respon Learning)

Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respon itu.

Rantai atau Rangkaian hal (Chaining)

Tipe belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

Kebanyakan aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya. Diantaranya kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara dua titik.

Ada dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut, dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat berakibat negatif terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.

Asosiasi Verbal (Verbal Association)

Asosiasi verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya. Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya.

Asosiasi verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan kode-kode mental yang unik. Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.

Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)

Discrimination learning atau belajar menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contohnya: anak dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak.

Terdapat dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka tersebut.

Belajar konsep (Concept Learning)

Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.

Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:

1). Memberikan variasi hal-hal yang berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.

2). Memberikan contoh-contoh perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.

3). Memberikan yang bukan contoh dari konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.

4). Menghindari pemberian konsep yang mempunyai karakteristik umum.

Belajar Aturan (Rule Learning)

Belajar aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi (stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon). Kebanyakan belajar matematika adalah belajar aturan. sebagai contoh, kita ketahui bahwa 5 x 6 = 6 x 5 dan bahwa 2 x 8 = 8 x 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa aturannya dapat dinyatakan dengan a x b = b x a. Kebanyakan orang pertama belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan verbal(dengan kata-kata) atau rumus seperti “ urutan dalam perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a dan b, a x b = b x a.

Aturan terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin dianggap sebagai konsep terdeinisi. konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n -2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan bagaimana mengerjakan n! Aturan-aturan lain adalah rangkaian antar kosep yang terhubung, seperti aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan dengan urutan x, :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut. Kondisi-kondisi belajar aturan mulai dengan merinci perilaku yang diinginkan pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda. Robert Gagne memberikan 5 tahap dalam mengajarkan aturan:

Tahap 1: menginformasikan pada siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar

Tahap 2: bertanya ke siswa dengan cara yang memerlukan pemanggilan kembali konsep yang telah dipelajari sebelumnya yang menyusun konsep

Tahap 3: menggunakan pernyataan verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.

Tahap 4: dengan bantuan pertanyaan, meminta siswa untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari aturan

Tahap 5 (bersifat pilihan, tetapi berguna untuk pengajaran selanjutnya): dengan pertanyaan yang cocok, meminta siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.

Pemecahan Masalah (Problem solving)

Tipe belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik. Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai.

Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan sebelumnya oleh banyak orang. sebagai contoh pemecahan masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx + c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat, dengan melaksanakan petunjuk dari guru.

Pemecahan masalah biasanya melibatkan lima tahap : (1). Menyatakan masalah dalam bentuk umum, (2). Menyatakan kembali masalah dalam suatu defenisi operasional, (3). Merumuskan hipotesis alternatif dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah, (4). Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan (5). Menentukan solusi yang tepat.

Hasil-Hasil Belajar

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :

  1. Informasi Verbal. Informasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.
  2. Keterampilan intelektual. Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya. Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinngi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperoleh aturan-aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konket ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.
  3. Strategi kognitif. Strategi kognitif merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kogniti adalah strategi menghafal, strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.
  4. Sikap-sikap. Merupakan pembawaan yang dapt dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadiaan atau makhluk hidup lannya. sekelompok siswa yang penting ialah sikap-sikap terhjadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu menjadi hal yang penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.
  5. Keterampilan-keterampilan motorik. Ketarampilan motorik merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggambungan kaegiatan motorik dengan intelektual seabagai hasil belajar seperti membaca, menulis, dan sebagai berikut.

Kejadian-kejadian Instruksi

Mengajar dapat kita pandang sebgai usaha mengontrol kondosi eksternal. Kondisi eksternal merupakan satu bagian dari proses belaajar, namun termasuk tugas guru dalam mengajar. Menurut Gagne mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang dikenal dengan ”Nine Instruction events” yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Memelihara perhatian (Gain attention). Dengan stimulus eksternal kita berusaha membangkitkan perhatian siswa untuk belajar
  2. Menjelaskan tujuan pembelajaran (Inform Lerners of Objectives). Menjelaskan kepada siswa tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.
  3. Meransang ingatan siswa (Stimulate recall of prior learning). Meransang ingatan siswa untuk mengingat kembaali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
  4. Manyajikan stimulus (Present the content). Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga siswa menjadi lebih siap menerima pelajaran.
  5. Memberikan bimbingan (Provide “learning guidance”). Memberikan bimbingan kepada siswa dalam proses belajar
  6. Memantapkan apa yang telah dipelajari (Elicit performance/practice). Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menrapkan apa yang telah dipelajari itu.
  7. Memberikan umpan balik (Provide feedback). Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada siswa apakah hasil belajarnya benaar atau tidak.
  8. Menilai hasil belajar(Assess performance). Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan membrikan soal.
  9. Mengusahakan transfer (Enhance retention and transfer to the job). Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi yang lain.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan pengajaran yang mengacu pada sembilan kejadian-kejadian belajar, mengajarkan segitiga sama sisi

  1. menujukkan di komputer bentuk bangun datar segitiga yang bervariasi.
  2. Memgajukan pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?
  3. Meninjau kembali definisi segitiga
  4. memberikan deenisi segitiga sama sisi
  5. memberikan contoh segitiga sama sisi
  6. meminta siswa untuk membuat 5 contoh yang berbeda
  7. Memeriksa semua contoh
  8. Memberikan nilai dan pengulangan
  9. menujukkan gambar suatu benda dan meminta siswa untuk mengidentifikasi segitiga sama sisi.


Baca Selengkapnya ....

teori belajar Gagne dan pembelajaran matematika

Posted by Unknown 0 comments

Dasar-Dasar Teori Belajar Gagne

1) Objek belajar matematika terdiri dari objek langsung, yaitu fakta, keterampilan,
konsep, prinsip, dan objek tak langsung, yaitu transfer belajar, kemempuan
menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada
struktur matematika.

2) Menurut Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil
belajar disebut kapabilitas.

3) Gagne mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal, keterampilan
intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik.

4) Keterampilan intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe,
yaitu: belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar
rangkaian verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukan aturan, dan belajar
pemecahan masalah.



5) Menurut Gagne sasaran pembelajaran adalah kemampuan. Kemampuan yang
dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku yang bisa dianalisis.

6) Gagne berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang
sederhana yang kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.



Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar oleh Gagne
disebut kemampuan-kemampuan. Hasil-hasil belajar dapat berupa keterampilan-
keterampilan intelektual yang memungkinkan kita berinteraksi dengan lingkungan
melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan; strategi-strategi kognitif
yang merupakan proses-proses kontrol dan dikelompokkan sesuai dengan fungsinya,
meliputi strategi-strategi menghafal, strategi-strategi elaborasi, strategi-strategi
pengaturan, strategi-strategi metakognitif, dan strategi-strategi afektif. Hasil-hasil
belajar yang lain ialah informasi verbal, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan
motorik.

Didasarkan atas model pemrosesan informasi Gagne mengemukakan bahwa
satu tindakan belajar meliputi delapan fase belajar yang merupakan kejadian-
kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru, dan setiap fase ini
dipasangkan dengan suatu proses internal yang terjadi dalam pikiran siswa.
Didasarkan atas analisis kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan agar guru
memperhatikan delapan kejadian instruksi waktu menyajikan suatu pelajaran pada
sekelompok siswa.

Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne
menyarankan kejadian-kejadian instruksi. Menurut Gagne, bukan hanya guru yang
dapat memberikan instruksi; kejadian-kejadian belajarnya dapat juga diterapkan baik
pada belajar penemuan, atau belajar di luar kelas, maupun belajar dalam kelas. Tetapi
kejadian-kejadian instruksi yang dikemukakan Gagne ditunjukkan pada guru yang
menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa-siswa. Kejadian-kejadian
instruksi itu adalah :

1. Mengaktifkan motivasi (activating motivation)
2. Memberi tahu tujuan-tujuan belajar
3. Mengarahkan perhatian (directing attention)
4. Merangsang ingatan (stimulating recall)
5. Menyediakan bimbingan belajar
6. Meningkatkan retensi (enhancing retention)
7. Melancarkan transfer belajar








Implementasi Teori Belajar Gagne dalam Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran menurut Gagne peranan guru lebih banyak membimbing
peserta didik, guru dominan sekali peranannya dalam membimbing peserta didik. Di
dalam mengajar memberikan serentetan kegiatan dengan urutan sebagai berikut :

- Membangkitkan dan memelihara perhatian
- Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan
yang relevan sebagai prasyarat
- Menyajikan situasi atau pelajaran baru
- Memberikan bimbingan belajar
- Memberikan Feedback atau balikan
- Menilai hasil belajar
- Mengupayakan transfer belajar
- Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk
menerapkan apa yang telah dipelajari.


Baca Selengkapnya ....

Teori Belajar

Posted by Unknown 0 comments

Teori Belajar

Beberapa teori belajar yang akan di bahas antara lain :


  • Teori belajar Skinner “Operant Conditioning”
  • Teori Belajar Conditining of Learning, Robert M. Gagne
  • Teori Belajar Perkekmembangan Kognitif Jean Piaget
  • Teori Belajar Sosial Albert Bandura
  • Teori Belajar Orang Dewasa
Teori Pembelajaran Orang Dewasa

a) Teori Operant Conditioning
Teori operant conditioning dimulai pada tahun 1930-an. Burhus Fredik Skinner selama periode teori stimulus (S)- Respons ( R) untuk menyempurnakan teorinya Ivan Pavlo yang disebut “Classical Conditioning”. Skinner setuju dengan konsepnya John Watson bahwa psikologi akan diterima sebagai sain (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur, seperti ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Menurut Skinner , belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Hasil temuan skinner terdapat tiga komponen dalam belajar yaitu :
Discriminative stimulus (SD)
Response
Reinforcement (penguatan)
- penguatan positif
- penguatan negative

b) Teori Conditioning Of Learning, Robert M. Gagne
Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya diamksudkan untuk menemukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.
Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif (gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari :
1. Stimulus dan lingkungan
2. proses kognitif
Menurut Gagne belajar dapat dikategorikan sebagai berikut :
1) Verbal information (informasi verbal)
2) Intellectual Skill (skil Intelektual)
3) Attitude (perilaku)
4) Cognitive strategi (strategi kognitif)
Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan , seperti membuat label, menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan / unjuk kerja dari hasil belajar, seperti membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi.
Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan pembelajar yang dapat menunjukkan kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita. Membuat keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu “ Knowing how”
Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar mealui model ini diperoleh melalui pemodelan atau orang yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan.
Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui pendidikan formal diharapkan pembelajar menjadi “self learner” dan “independent tinker”.
c) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory)
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interksi yangterus menerus antara individu dengan lingkungan.
Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget, duturunkan dari analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ=kecerdasan) adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.
Menurut Piaget ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkekmbangan operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi nyata anak-anak dewas.
Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu :
1) lingkungan fisik
2) kematangan
3) pengaruh sosial
4) proses pengendalian diri (equilibration)
(Piaget, 1977)
Tahap perkembangan kognitif :
1) Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun)
2) Periode Pra Operasional (2-3 tahun sampai 7-8 tahun)
3) Periode operasi yang nyata (7-8 tahun sampai 12-14 tahun)
4) Periode operasi formal
Kunci dari keberhasilan pembelajaran adalah instruktur/guru/dosen/guru harus memfasilitasi agar pembelajar dapat mengembangkan berpikir logis.
d) Teori Berpikir Sosial (social Learning Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking),
Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku
Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal
Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan
Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda.
Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu.
Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
P
B
E
Tingkah laku dihadirkan oleh model
Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model)
Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar)
Pemrosesan kode-kode simbolik
Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku, (Bandura, 1976).
Skema
Proses Kognitif Pembelajar
Pembelajar mampu menunjukkan kompetensi/tingkah laku
Performance/unjuk kerja
Motivasi pembelajar mengolah tingkah laku
Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan penting.
Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu sebagi berikut :
No
Strategi Proses
1
Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri :
a. Apakah karekter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skil atau efektif?
b. Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
2
Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan dimasa datang? (success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidk begitu penting) model manakah yang lebih penting?
c. Apakah model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan tingkah laku.
d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?
3
Pengembangan sekuen instruksional
a. Untuk mengajar motor skill, bagaimana caramengerjakan pekerjaan/kemampuan yang dipelajari :how to do this” dan bukannya “not this”.
Langkah-langkah manakah menurut sekuen yang harus dipresentasikan secara perlahan-lahan
4
Implementasi pengajaran untuk menunut proses kognitif dan motor reproduksi.
a. motor skill
1) hadirkan model
2) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secarasimbolik
3) beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan balik visual
b. proses kognitif
1) Tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh
2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau summary
3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk berpartisipasi secaraaktif
4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2. komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3. hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).
4. dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5. dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.
Ahli lain yaitu Bloom dkk, menjelaskan domain tujuan pendidikan ada tiga ranah yaitu : 1) kognitif, yang berhubungan dengan ingatan, pengetahuan, dan perkembangan kemampuan dan skill intelektual, 2) afektif yang menjelaskan tentang perubahan dalam minat, perilaku (attitudes), nilai-nilai dan perkembangan dalam apresiasi dan penyesuaian , dan 3) psikomotor.
2. Teori Belajar Orang dewasa
Gagne membagi teori belajar dalam 3 famili :
a. conditioning
b. modelling
c. kognitif
Kingsley dan Garry membagi teori belajar dalam 2 bagian yaitu ;
a. teori stimulus-respon
b. teori medan
Taba membagi teori belajar menjadi 2 famili :
a. teori asosiasi atau behaviorisme
b. teori organismik, gestalt dan teori medan
Di dalam pembahasan akan difokuskan pada teori belajar orang dewasa. Ada aliran inkuiri yang merupakan landasan teori belajar dan mengajar orang dewasa yaitu : “scientific stream” dan “artistic atau intuitive/reflective stream”. Aliran “scientific stream” adalah menggali atau menemukan teori baru tentang belajar orang dewasa melalui penelitian dan eksperimen . Teori ini diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike dengan pubilkasinya “ Adult Learning”, pada tahun 1928.
Pada aliran artistic, teori baru ditemukan melalui instuisi dan analisis pengalaman yang memberikan perhatian tentang bagaimana orang dewasa belajar. Aliran ini diperkenalkan oleh Edward C. Lindeman dalam penerbitannya “ The Meaning of Adult Education” pada tahun 1926 yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pendidikan John Dewey.
Menurutnya sumber yang paling berguna dalam pendidikan orang dewasa adalah pengalaman peserta didik. Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut :
1) pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana belajar akan memberikan kepuasan
2) orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter.
3) Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning).
4) Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur.
5) Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia, oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar.
Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning” yang intinya yaitu :
1) kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2) Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya
3) Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan
4) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir
Peserta didik orang dewasa menurut konsep pendidikan adalah :
1) meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa, yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai orang dewasa
2) meraka yang mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa
Andragogi mulai digunakan di Netherlands oleh professor T.T Ten have pada tahun 1954 dan pada tahun 1959 ia menerbitkan garis-garis besar “Science of Andragogy”
Model andragogi mempunyai konsep bahwa : kebutuhan untuk tahu (The need to know), konsep diri pembelajar ( the learner’s concept),peran pengalaman pembelajar (the role of the leaner’s experience), kesiapan belajar ( readiness to learn), orientasi belajar (orientation of learning) dan motivasi lebih banyak ditentukan dari dalam diri si pembelajar itu sendiri.
Didalam pembelajaran orang dewasa tidak sepenuhnya harus menggunakan model andragogi, tetapi bisa digabung model pedagogi. Jika pembelajarnya belum mengetahui atau sangat asing dengan materi yang disampaikan tentunya kita bisa menggunakan model pedagogi pada awal-awal pertemuan untuk mengkonstruksi pengalaman dengan pengetahuan yang baru didapatkan, selanjutnya bisa digunakan model andragogi sebagai penguatan dan pengembangan.




Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Dunia Pendidikan.