Media Pembelajaran: Pemilihan Media Pembelajaran

Posted by Unknown Saturday, October 15, 2011 0 comments



Pembelajaran yang efektif memerlukann perencanaan yang baik. Media yang akan digunakan dalam proses pembelajaran itu juga memerlukan perencanaan yang baik. Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa seorang guru memilih salah satu media dalam kegiatannya di kelas atas dasar pertimbangan antara lain:
a)      Ia merasa sudah skrab dengan media itu, yaitu papan tulis atau proyektor.
b)      Ia merasa bahwa media yang dipilihnya dapat menggambarkan dengan lebih baik daripada dirinya sendiri, misalnya diagram pada flip chart, atau
c)      Media yang dipilihnya dapat menarik minat dan perhatian siswa, serta menuntunnya pada penyajian yang lebh terstruktur dan terorganisasi.
Pertimbangan ini diharapkan oleh guru dapat memenuhi kebutuhannya dalam mencapai tujuan yang telah ia terapkan.

            Heinich, dan kawan-kawan (1982) mengajukan model perencanaan penggunaan media yang efektif yang dikenal dengan istilah ASSURE. (ASSURE adalah singkatan dari Analyze learner characteristics, State objective, Select, or modify media, Utilize, Require learner response, and Evaluate). Model ini menyarankan 6 kegiatan utama dalam perencanaan pembelajaran sebagai berikut:
(A)  Menganalisis karakteristik umum kelompok sasaran, apakah mereka siswa sekolah lanjutan atau perguruan tinggi, anggota organisasi pemuda, perusahaan, usia, jenis kelamin, latar belakang budaya dan sosial ekonomi, serta menganalisis karakteristik khusus mereka yang meliputi antara lain pengetahuan, keterampilan, dan sikap awal mereka.
(S) Menyatakan atau memutuskan tujuan pembelajaran, yaitu perilaku atau kemampuan baru apa (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang diharapkan siswa miliki dan kuasai setelah proses belajar-mengajar selesai. Tujuan ini akan mempengaruhi pemilihan media dan urut-urutan penyajian dan kegiatan belajar.
(S) Memilih, memodifikasi, atau merancang dan mengembangkan materi dan media yang tepat. Apabila materi dan media pembelajaran yang telah tersedia akan dapat mencapai tujuan, materi dan media itu sebaiknya digunakan untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Di samping itu perlu pula diperhatikan apakah materi dan media itu akan mampu membangkitkan minat siswa, memiliki ketepatan informasi, memiliki kualitas yang baik, memberikan kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi, telah terbukti efektif  jika prnah diujicobakan, dan menyiapkan petunjuk untuk berdiskusi atau kegiatan follow-up. Apabila materi dan media yang ada tidak cocok dengan tujuan atau tidak sesuai dengan sasaran partisipan, materi dan media itu dapat dimodifikasi. Jika tidak memungkinkan untuk memodifikasi yang telah tersedia, barulah memilih alternatife ketiga yaitu merancang dan mengembangkan materi dan media yang baru. Tentu saja kegiatan ini jauh lebih mahal dari segi biaya, waktu dan tenaga. Namun demikian, kegiatan ini memungkinkan untuk menyiapkan materi dan media yang tetap dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
(U) Menggunakan materi dan media, yaitu memilih materi dan media yang tepat, prakrik dan latihan menggunakan media, persiapan ruangan, mempersiapkan fasilitas yang diperlukan seperti meja, listrik, layar dll.
(R) Meminta tanggapan dari siswa, guru sebaiknya mendorong siswa untuk memberikan  tanggapan atau umpan balik mengenai keefektifan proses belajar mengajar sehingga siswa akan ikut berpartisipasi yang lebih besar.
(E) Mengevaluasi proses belajar, yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian siswa mengenai tujuan pembelajaran, keefektivan media, pendekatan, dan guru.
Dalam memilih media harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
1.      Hambatan pengembangan dan pembelajaran. Meliputi faktor dana, alat dan fasilitas yang tersedia, waktu yang tersedia, sumber-sumber yang tersedia.
2.      Persyaratan isi, tugas, dan jenis pembelajaran. Misalnya penghafalan, penerapan keterampilan, penalaran dan pemikiran tingkatan yang lebih tinggi. Setiap kategori pembelajaran menuntut perilaku yang berbeda-bedasehingga memerlukan teknik dan media penyajian yang berbeda.
3.      Hambatan dari sisi siswa dengan mempertimbangkan kemampuan dan    ketrampilan awal, seperti membaca, mengetik, menggunakan komputer dll.  
4.      Pertimbangan lainnya adalah tingkat kesenangan (preferensi lembaga, guru, dan pelajar) dan keefektifan biaya.
5.      Pemilihan media sebaiknya mempertimbangkan pula :
a.       Kemampuan mengakomodasikan penyajian stimulus yang tepat (visual dan / atau audio)
b.      Kemampuan mengakomodasikan respons siswa yang tepat (tertulis, audio,dan/ atau kegiatan fisik)
c.       Kemampuan mengakomodasikan umpan balik
d.      Pemilihan media utama dan media sekunder untuk penyajian informasi atau stimulus, dan untuk latihan dan tes (sebaiknya latihan dan tes menggunakan media yang sama). Misalnya, untuk tujuan belajar yang melibatkan penghafalan
6.      Media sekunder harus mendapat perhatian karena pembelajaran yang berhasil  menggunakan media yang beragam
Dari segi teori belajar, berbagai kondisi dan prinsip-prinsip psikologis yang perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media adalah sebagai berikut :
1.      Motivasi. Harus ada kebutuhan, minat, atau keinginan untuk belajar dari pihak siswa sebelum meminta perhatiannya untuk mengerjakan tugas dan latihan. Oleh karena itu, perlu untuk melahirkan minat itu dengan perlakuan yang memotivasi dari informasi yang terkandung dalam media pembelajaran itu.
2.      Perbedaan Individual. Siswa belajar dengan cara dan tingkat kecepatan yang berbeda-beda.  Faktor-faktor seperti kemampuan intelegensia, tingkat pendidikan, kepribadian dan gaya belajar mempengaruhi kemampuan dan kesiapan siswa untuk belajar.
3.      Tujuan Pembelajaran. Jika siswa diberitahukan apa yang diharapkan mereka pelajari melalui media pembelajaran itu, kesempatan untuk berhasil dalam pembelajaran semakin besar. Di samping itu pernyataan mengenai tujuan belajar yang ingin dicapai dapat menolong perancang dan penulis materi pelajaran. Tujuan ini akan menentukan bagian isi yang mana yang harus mendapatkan perhatian pokok dalam media pembelajaran.
4.      Organisasi Isi : Ketrampilan fisik yang akan di pelajari di atur dalam urut – urutan yang bermakna.
5.      Persiapan sebelum belajar : Menguasai secara baik pelajaran dasar atau memiliki pengalaman yang di perlikan secara memadai yang mungkin merupakan prasyarat untuk menggunakan media dengan sukses.
6.      Emosi : Pembelajaran yang melibatkan emosi dan perasaan pribadi serta kecakapan anak berpengaruh dan bertahan,
7.      Partisipasi : Agar pembelajaran berlangsung dengan baik, seorang siswa harus menginternalisasikan informasi, tidak sekedar diberitahukan kepadanya.
8.      Upan Balik : Hasil belajar dapat meningkat apabila secara berkala siswa di informasikan kemajuan belajar.
9.      Penguatan ( reinforcement ) : Apabila siswa berhasil belajar, ia di dorong untuk terus belajar.
10.  Latihan dan Pengulangan : Sesuatu hal baru jarang sekali dapat di pelajari secara efektif hanya dengan sekali jalan.
11.  Penerapan : Hasil belajar yang di inginkan adalah meningkatkan kemampuan seseorang untuk menerapkan atau mentrasferkan hasil belajar pada masalah atau situasi baru.
Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan media yaitu antara lain:
1.      Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Yaitu tujuan secara kognitif, afektif, dan psikomotor. Dapat dilakukan dengan cara menghafal, melakukan kegiatan yang melibatkan kegiatan fisik atau pemakaian prinsip-prinsip, melakukan tugas yang melibatkan pemahaman konsep-konsep atau hubungan-hubungan perubahan dan membutuhkan pemikiran yang lebih tinggi.
2.      Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi. Agar dapat membantu proses pembelajaran secara efektif media harus selaras dan sesuai dengan kebutuhan tugas pembelajaran dan kemampuan mental siswa.
3.      Praktis, luwes dam bertahan.  Guru seharusnya memilih media yang ada, mudah diperoleh, atau mudah dibuat sendiri oleh guru. Media sebaiknya dapat digunakan dimanapun kapanpun dengan peralatan yang ada disekitarnya, serta mudah dipindahkan dan dibawa kemana-mana.
4.      Guru terampil menggunakannya. Apapun medianya guru harus mampu dan teampil menggunakanya karena nilai dan nmanfaat media amat ditentukan oleh guru yang menggunakanya.
5.      Pengelompokan sasaran. Media harus disesuaikan dengan ukuran kelompok yaitu kelompok besar, kecil, atau untuk ukuran sedang bahkan perorangan.
6.      Mutu teknis. Pengembangan visual baik gambar maupun fotograf harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Misal ketika kita membuat slide maka kita harus mengutamakan isi dari pesan yang akan kita sampaikan jangan sampai pesan yang akan kita sampaiakan terganggu oleh elemen lain yang berupa latar belakang maupun animasi gambarnya.

Baca Selengkapnya ....

Perencanaan Pembelajaran: RUMUS ABCD (tujuan pembelajaran)

Posted by Unknown Friday, October 14, 2011 0 comments


Rumus ABCD on Disnal,,,Seru lho…

  
Dalam kegiatan belajar mengajar,salah satu bagian terpenting yang harus diperhatikan adalah mempersiapkan si peserta didik dengtan matang.Untuk itulah ada salah satu rumusan tujuan pembelajaran yang saya suka,memmang siiii rumusan ini termasuk klasik,tetapi mudah diterapkan lhoo…..rumusan itu bernama Rumusan ABCD
hmpp..apa itu rumusan ABCD???

ABCD adalah singkatan dari:
A:Audience
maksudnya adalah sebagai pendidik harus bisa memahami karakteristik si peserta didik secara detail.
B:Behaviour
Dalam behaviour ini dapat dikatakan sebagai penggunaan kata kerja..yup bagaimana tidak karena dalam B kita mengembangkan perilaku belajar,,dengan menggunakan kata kerja seperti:menggunakan,menjelaskan,menyusun,dll.
C:Condition
Dalam belajar tentu diperlukan kondisi atau suasana belajar yang baik dan untuk mencapai itu kita memerlukan media,metode,dan sumber belajar.
D:Degree
maksud dari kata D ini adalah:Tingkat pencapaian dari tujuan pembelajaran,dalam D ini kita mengupas tentang proses hasil belajar yang telah dicapai.

Baca Selengkapnya ....

Konsep Pendidikan Karakter

Posted by Unknown Thursday, October 13, 2011 0 comments

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.


Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu jugamemiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampubertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya(perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagaithe golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Baca Selengkapnya ....

Informasi Dunia Pendidikan di Sekolah.

Posted by Unknown Saturday, August 13, 2011 0 comments

OLEH :  Drs. B Suryosubroto.

A.Pengantar
               
Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, yang diberlakukan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2001, bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota (Pasal 11 ayat 2). Sebagai dampak pasca dikeluarkan UU tersebut, terjadi pergeseran pendekatan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia telah berimbas pada pengelolaan sistem pendidikan, yakni dari semula yang lebih bersifat sentralistik bergeser ke arah pengelolaan yang lebih bersifat desentralistik.

Sebagai bentuk alternatif untuk pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional yakni dengan cara menempuh School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami kompleksitas pendidikan, membantu, serta turut mengontrol pengelolaan pendidikan. Adapun kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula diperhatikan oleh sekolah. Dengan demikian sekolah dituntut memiliki accountability (akuntabilitas) baik kepada masyarakat maupun pemerintah, karena keduanya merupakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Dengan memperhatikan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya MBS merupakan suatu strategi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada pengerahan dan pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas atau bermutu.

B. MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu
Konsep pengelolaan ini menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah didalam mengolah potensi sumber daya pendidikan melalui kerja sama dengan pemerintah dan masyarakat didalam pengambilan keputusan untuk memenuhi tujuan peningkatan mutu sekolah.
Karakter dari konsep manajemen ini antara lain:
  1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib

  2. Sekolah memiliki visi dan target mutu yang ingin dicapai

  3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat

  4. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi

  5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus-menerus sesuai tuntutan IPTEK

  6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu dan

  7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dan orang tua murid/masyarakat

Ada 14 hal untuk mencapai mutu pendidikan prima, yang termasuk dalam strategi total quality education (TQE), yaitu:
  1. Merancang secara terus-menerus berbagai tujuan pengembangan siswa, pegawai, dan layanan pendidikan.

  2. Mengadopsi filosofi baru, yang mengedepankan kualitas pembelajaran dan kualitas sekolah. Informasi Dunia Pendidikan harus mengambil prakarsa dalam gerakan peningkatan mutu ini.

  3. Guru harus menyediakan pengalaman pembelajaran yang menghasilkan kualitas kerja. Peserta didik harus berusaha mengejar kualitas, dan menyadari jika tidak menghasilkan output yang baik, customers mereka (guru, orangtua, lapangan kerja) tidak akan menyukainya.

  4. Menjalin kerja sama yang baik dengan pihak-pihak yang berkepentingan (stake holders) untuk menjamin bahwa input yang diterima berkualitas.

  5. Melakukan evaluasi secara kontinyu dan mencari terobosan-terobosan pengembangan sistem dan proses untuk meningkatkan mutu dan produktivitas.

  6. Para guru, staf lain dan murid harus dilatih dan dilatih kembali dalam pengembangan mutu. Guru harus melatih siswa agar menjadi warga dan pekerja masa depan dengan mengembangkan kemampuan pengendalian diri, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

  7. Kepemimpinan lembaga, yang mengarahkan guru, staf dan siswa mengerjakan tugas pekerjaannya dengan lebih baik. Di dalam mengelola kelas, guru hendaknya menerapkan visi kepemimpinan pada kepengawasan.

  8. Mengembangkan ketakutan, yakni semua staf harus merasa mereka dapat menemukan masalah dan cara pemecahannya, guru mengembangkan kerja sama dengan siswa untuk meningkatkan mutu.

  9. Menghilangkan penghalang kerja sama diantara staf, guru, dan murid, atau antar ketiganya.

  10. Hapus slogan, desakan atau target yang bernuansa pemaksaan dari luar.

  11. Kurangi angka-angka kuota, ganti dengan penerapan kepemimpinan, karena penetapan kuota justru akan mengurangi produktivitas dan kualitas.

  12. Hilangkan perintang-perintang yang dapat menghilangkan kebanggaan para guru atau siswa terhadap kecakapan kerjanya.

  13. Sejalan dengan kebutuhan penguasaan materi baru, metode-metode atau teknik-teknik baru, maka harus disediakan program pendidikan atau pengembangan diri bagi setiap orang dalam lembaga sekolah tersebut.

  14. Pengelolaan harus memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengambil bagian atau peranan dalam pencapaian kualitas.


C. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah

Dalam rangka ingin membantu mensosialisasikan (menyebarluaskan) konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada kalangan masyarakat luas, terutama pada para pendidik dan administrator pendidikan. Maka, dibawah ini akan diuraikan mengenai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah:

1. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia di mana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama, strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa dalam belajar, serta aspirasi masyarakat terhadap pendidikan seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.

2. Tujuan

Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan:
  1. Mensosialiasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.

  2. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplementasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografinya.

  3. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.

  4. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlihat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing-masing.

  5. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.

  6. Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseska pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan khususnya masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.

  7. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus-menerus) pada tataran sekolah.
    h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun, 5 tahun dan seterusnya sehingga tercapai miksi sekolah ke depan.

3. Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah

Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan dari pada perbaikan proses pendidikan. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang lebih ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan.

4. Pengertian mutu

Dalam pengertian umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya), baik berupa barang maupun jasa. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan, dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya sera penciptaan suasana yang kondusif.

5. Kerangka Kerja dan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
  1. Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat.

  2. Pertanggungjawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

  3. Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu:

1) Pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
2) Bagaimana mengembangkan ketrampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
3) Pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.

d. Personel sekolah; sekolah bertanggungjawab dan terlibat dalam proses rekruitmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya).

6. Strategi Pelaksanaan di Tingkat Sekolah

  • Penyusunan basis data dan profil sekolah yang lebih presentatif, akurat, valid, dan secara sistematis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.

  • Melakukan evaluasi diri (self assessment) untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah.

  • Sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai.

  • Sekolah bersama-sama dengan masyarakat merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan) termasuk anggarannya.

7. Penutup

Beragamnya kondisi lingkungan dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan sekolah.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kita sebagai pelaksana dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.













Baca Selengkapnya ....

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Posted by Unknown Wednesday, August 10, 2011 0 comments
Pengertian dan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan.

Pada sistem MBS sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBS “Suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar “ Tujuan MBS Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk:

1. meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;

2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;

3. meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan

4. meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

Prinsip dan Implementasi MBS Prinsip utama pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu:
1. Fokus pada mutu
2. Bottom-up planning and decision making
3. Manajemen yang transparan
4. Pemberdayaan masyarakat
5. Peningkatan mutu secara berkelanjutan

Prinsip MBS Dalam mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu: kekuasaan; pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan.

1. Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:

1. melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa.
2. membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
3. menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.

2. Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah:
1. pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah,
2. memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dll).

3. Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan: kemampuan guru dan Prestasi siswa

4. Sistem Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat adil dan merata.
Kewenangan yang Didesentralisasikan

1. Perencanaan dan Evaluasi Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.

2. Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum
standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan lokal.

3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.

4. Pengelolaan Ketenagaan Pengelolaan ketenagaaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah Pusat/Daerah.

5. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan) Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya.

6. Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities) sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.

7. Pelayanan Siswa Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

8. Hubungan Sekolah-Masyarakat Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentraslisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.

9. Pengelolaan Iklim Sekolah Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklmi sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif.

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Dunia Pendidikan.