Pembentukan Kepribadian Muslim Sebagai Individu

Posted by Unknown Thursday, December 27, 2012 0 comments

Kepribadian Muslim dapat dilihat dari kepribadian orang per orang (individu) dan kepribadian dalam kelompok masyarakat (ummah). Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkahlaku, serta kemampuan intelaktual yang dimilikinya. Karena adanya unsur kepribadian yang dimiliki masing-masing, maka sebagai individu seorang Muslim akan menampilkan ciri khasnya masing-masing.

Dengan demikian akan ada perbedaan kepribadian antara seseorang muslim dengan muslim lainnya. Secara fitrah perbedaan ini memang diakui adanya. Islam memandang setiap manusia memiliki potensi yang berbeda, hingga kepada setiap orang dituntut untuk menunaikan perintah agamanya sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing (QS.6:152).

Kalaulah individu merupakan unsur terkecil dari suatu masyarakat, maka tentunya dalam pembentukan kepribadian Muslim sebagai umat akan sulit dipenuhi. Beranjak dari pernyataan tersebut, maka dalam upaya membentuk kepribadian Muslim baik secara individu, maupun sebagai suatu ummah, adanya perbedaan tersebut bagaimana pun tak mungkin dapat diletakkan. Dalam kenyataannya memang dijumpai adanya unsur keberagaman (heterogenitas) dan homogenitas(kesamaan).

Maka walaupun sebagai individu masing-masing kepribadian itu berbeda, tapi dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah, perbedaan itu perlu dipadukan. Sumber yang menjadi dasr dan tujuannya adalah ajaran wahyu.

Dasar pembentukan adalah Al-Qur’an dan hadist, sedangkan tujuan yang akan dicapai menjadi pengabdi Allah yng setia (QS.51:56), sebagai Tuhan yang wajib disembah. Sedangkan pengabdian yang dimaksud didasarkan atas tuntutan untuk menyembah kepada Tuhan yang satu : itulah dia Allah Tuhan kamu, tidak ada yang berhak disembah selain dia. Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah dia(QS.6:102).

Pernyataan wahyu ini merupakan kerangka acuan dalam pembentukan kepribadian Muslim sebagai ummah. Acuan ini berisi pernyataan, bahwa sitiap Muslim wajib menunjukkan ketundukan yang optimal kepada zat yang menjadi sesembahannya. Dengan demikian secara keseluruhan kaum muslimin mengacu kepada pembentukan sikap kepatuhan yang sama imbasnya diharapkan akan terbentuk sifat dan sikap yang secara umum adalah sama. Inilah yang dimaksud dengan kepribadian muslim sebagai ummah.

Secara individu kepribadian Muslim mencerminkan cirri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut diperolah berdasarkan potensi bawaan. Dengan demikian secara potensi (pembawaan) akan dijumpai adnya perbedaan kepribadian antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Namun perbedaan itu terbatas pada seluruh potensi yang mereka miliki, berdasarkan factor pembawaan masing-masing meliputi aspek jasmani dan rohani. Pada aspek jasmani seperti perbedaan bentuk fisik, warna kulit, dan cirri-ciri fisik lainnya. Sedangkan pada aspek rohaniah seperti sikap mental, bakat, tingkat kecerdasan, maupun sikap emosi.

Sebaliknya dari aspek roh, ciri-ciri itu menyatu dalam kesatuan fitrah untuk mengabdi kepada penciptannya. Latar belakang penciptaan manusia menunjukkan bahwa secara fitrah manusia memiliki roh sebagai bahan baku yang sama. Menurut Hasan Langgulung, pernyataan tersebut mengandung makna antara lain, bahwa Tuhan memberikan manusia beberapa potensi yang sejalan dengan sifat-sifatnya. Kepibadian secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang dimiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Sebab Nabi mengemukakan “ Orang mukmin yang paling sempurna imannya, adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.

Disini terlihat ada dua sisi penting dalam pembentukan kepribadian muslim, yaitu iman dan akhlak. Bila iman dianggap sebagai konsep batin, maka batin adalah implikasi dari konsep itu yang tampilanya tercermin dalam sikap perilaku sehari-hari. Keimanan merupakan sisi abstrak dari kepatuhan kepada hukum-hukum Tuhan yang ditampilkan dalam lakon akhlak mulia.

Menurut Abdullah al-Darraz, pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman. Dengan adanya cermin dari nilai yang dimaksud dalam sikap dan perilaku seseorang maka tampillah kepribadiannya sebagai muslim. Muhammad Darraz menilai materi akhlak merupakan bagian dari nilai-nilai yang harus dipelajari dan dilaksanakan, hingga terbentuk kecendrungan sikap yang menjadi ciri kepribadian Muslim.

Usaha yang dimaksud menurut Al-Darraz dapat dilakukan melalui cara memberi materi pendidikan akhlak berupa :
  • Pensucian jiwa
  • Kejujuran dan benar
  • Menguasai hawa nafsu
  • Sifat lemah lembut dan rendah hati
  • Berhati-hati dalam mengambil keputusan
  • Menjauhi buruk sangka
  • Mantap dan sabar
  • Menjadi teladan yang baik
  • Beramal saleh dan berlomba-lomba berbuat baik
  • Menjaga diri (iffah)
  • Ikhlas
  • Hidup sederhana
  • Pintar mendengar dan kemudian mengikutinya (yang baik)
Pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah sikap kearah kecendrungan pada nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap, tentunya tidak terjadi secara spontan. Semua berlajan dalam sautu proses yang panjang dan berkesinambungan. Diantara proses tersebut digambarkan oleh danya hubungan dengan obyek, wawasan, peristiwa atau ide(attitude have referent), dan perubahan sikap harus dipelajari (attitude are learned), menurut Al-Ashqar. Ada hubungan timbale balik antara individu dengan lingkungannya.

Selanjutnya kata Al-Ashqar, jika secara konsekwen tuntutan akhlak seperti yang dipedomankan pada Al-Qur’an dapat direalisasikan dalam kehidupan sehar-hari, maka akan terlihat ciri-cirinya. Ia memberikan rincian ciri-ciri yang dimaksud sebagai berikut:
  • Selalu menepuh jalan hidup yang didasarkan didikan ketuhanan dengan melaksanakan ibadah dalam arti luas.
  • Senantiasa berpedoman kepada petunjuk Allah untuk memperolah bashirah (pemahaman batin) dan furqan (kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk).
  • Mereka memperoleh kekuatan untuk menyerukan dan berbuat benar, dan selalu menyampaikan kebenaran kepada orang lain.
  • Memiliki keteguhan hati untuk berpegang kepada agamanya.
  • Memiliki kemampuan yang kuat dan tegas dalam menghadapi kebatilan.
  • Tetap tabah dalam kebenaran dalam segala kondisi.
  • Memiliki kelapangan dan ketentraman hati serta kepuasan batin hingga sabar menerima cobaan.
  • Mengetahui tujuan hidup dan menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir yang lebih baik.
  • Kembali kepada kebenaran dengan melakukan tobat dari segala kesalahan yang pernah dibuat sebelumnya.
Dalam hal ini Islam juga mengajarkan bahwa factor genetika (keturunan) ikut berfungsi dalam pembentukan kepribadian Muslim. Oleh karena itu, filsafat pendidikan Islam memberikan pedoman dalam pendidikan Prenatal (sebelum lahir), Pembuahan suami atau istri sebaiknya memperhatikan latarbelakang keturunan masing-masing pilihan (tempat yang sesuai) karena keturunan akan membekas (akhlak bapak akan menurun pada anak).

Kemudian dalam proses berikutnya, secara bertahap sejalan dengan tahapperkembangan usianya, pedoman mengenai pendidikan anak juga telah digariskan oleh filsafat pendidikan Islam. Kalimat tauhid mulai diperdengarkan azan ketelingan anak yang baru lahir. Kenyataan menunjukkan dari hasil penelitian ilmu jiwa bahwa bayi sudah dapat menerima rangsangan bunyi semasa masih dalam kandungan. Atas dasar kepentingan itu, maka menggemakan azan ketelingan bayi, pada hakikatnya bertujuan memperdengarkan kalimat tauhid diawak kehidupannya didalam dunia.

Pada usia selanjutnya, yaitu usia tujuh tahun anak-anak dibiasakan mengerjakan shalat, dan perintah itu mulai diintensifkan menjelang usia sepuluh tahun. Pendidikan akhlak dalam pembentukan pembiasaan kepada hal-hal yang baik dan terpuji dimulai sejak dini. Pendidikan usia dini akan cepat tertanam pada diri anak. Tuntunan yang telah diberikan berdasarkan nilai-nilai keislaman ditujukkan untuk membina kepribadian akan menjadi muslim. Dengan adanya latihan dan pembiasaan sejak masa bayi, diharapkan agar anak dapat menyesuaikan sikap hidup dengan kondisi yang bakal mereka hadapi kelak. Kemampuan untuk menyesuikan diri dengan lingkungan tanpa harus mengorbankan diri yang memiliki ciri khas sebagai Muslim, setidaknya merupakan hal yang berat.

Dengan demikian pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya merupakan suatu pembentukan kebiasaan yang baik dan serasi dengan nilai-nilai akhlak al-karimah. Untuk itu setiap Muslim diajurkan untuk belajar seumur hidup, sejak lahir (dibesarkan dengan yang baik) hingga diakhir hayat. Pembentukan kepribadian Muslim secara menyeluruh adalah pembentukan yang meliputi berbagai aspek, yaitu:
  • Aspek idiil (dasar), dari landasan pemikiran yang bersumber dari ajaran wahyu.
  • Aspek materiil (bahan), berupa pedoman dan materi ajaran yang terangkum dalam materi bagi pembentukan akhlak al-karimah.
  • Aspek sosial, menitik beratkan pada hubungan yang baik antara sesama makhluk, khususnya sesama manusia.
  • Aspek teologi, pembentukan kepribadian muslim ditujukan pada pembentukan nilai-nilai tauhid sebagai upaya untuk menjadikan kemampuan diri sebagai pengabdi Allah yang setia.
  • Aspek teologis (tujuan), pembentukan kepribadian Muslim mempunyai tujuan yang jelas.
  • Aspek duratife (waktu), pembentukan kepribadian Muslim dilakukan sejak lahir hingga meninggal dunia.
  • Aspek dimensional, pembentukan kepribadian Muslim yang didasarkan atas penghargaan terhadap factor-faktor bawaan yang berbeda (perbedaan individu).
  • Aspek fitrah manusia, yaitu pembentukan kepribadian Muslim meliputi bimbingan terhadap peningkatan dan pengembangan kemampuan jasmani, rohani dan ruh.
Pembentukan kepribadian muslim merupakan pembentukan kepribadian yang utuh, menyeluruh, terarah dan berimbang. Konsep ini cenderung dijadikan alasan untuk memberi peluang bagi tuduhan bahwa filsafat pendidikan Islam bersifat apologis (memihak dan membenarkan diri). Penyebabnya antara lain adalah ruang lingkupnya terlalu luas, tujuan yang akan dicapai terlampau jauh, hingga dinilai sulit untuk diterapakn dalam suatu sistem pendidikan.

Sumber : http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/pembentukan-kepribadian-muslim-menurut.html

Artikel terkait :

Baca Selengkapnya ....

Infeksi Saluran Kemih

Posted by Unknown Saturday, December 22, 2012 0 comments

Pengertian

Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, 2001) Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)

Klasifikasi

Klasifikasi infeksi saluran kemih sebagai berikut :
  1. Kandung kemih (sistitis)
  2. Uretra (uretritis)
  3. Prostat (prostatitis)
  4. Ginjal (pielonefritis)

Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:

1. ISK uncomplicated (simple)
  • ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.

2. ISK complicated

Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
  • Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
  • Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
  • Gangguan daya tahan tubuh
  • Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.

Etiologi

Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
  1. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
  2. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
  3. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain

Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
  1. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
  2. Mobilitas menurun
  3. Nutrisi yang sering kurang baik
  4. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
  5. Adanya hambatan pada aliran urin
  6. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

Patofisiologi

Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen.

Ada dua jalur utama terjadinya ISK yaitu asending dan hematogen.

1. Asending

Masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.

Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal.

2. Hematogen

Sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.

Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
  1. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
  2. Mobilitas menurun
  3. Nutrisi yang sering kurang baik
  4. System imunnitas yng menurun
  5. Adanya hambatan pada saluran urin
  6. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
  7. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius.
Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah adalah :
  1. Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
  2. Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
  3. Hematuria
  4. Nyeri punggung dapat terjadi
  5. Tanda dan gejala ISK bagian atas adalah :
  6. Demam
  7. Menggigil
  8. Nyeri panggul dan pinggang
  9. Nyeri ketika berkemih
  10. Malaise
  11. Pusing
  12. Mual dan muntah

Pemeriksaan Penunjang
  1. Urinalisis
  2. Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
  3. Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
  4. Bakteriologis
  5. Mikroskopis
  6. Biakan bakteri
  7. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
  8. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
  9. Metode tes
  10. Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
  11. Tes Penyakit Menular Seksual (PMS) :
  12. Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
  13. Tes- tes tambahan :
  14. Urogram intravena (IVU), Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

Penatalaksanaan
  1. Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
  2. Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
  3. Terapi antibiotika dosis tunggal
  4. Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
  5. Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
  6. Terapi dosis rendah untuk supresi
  7. Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
  8. Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
  1. Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
  2. Interansi obat
  3. Efek samping obat
  4. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
  5. Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
  6. Efek nefrotosik obat
  7. Efek toksisitas obat


Sumber : http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/03/infeksi-saluran-kemih-isk.html

Artikel terkait : Asuhan keperawatan pasien dengan infeksi saluran kemih!!


Baca Selengkapnya ....

Dampak Kemajuan Iptek Terhadap Pendidikan Islam

Posted by Unknown Thursday, December 20, 2012 0 comments
Adanya tuntutan modernisasi pendidikan yang menjadi ciri zaman sekarang memiliki dimensi dan kekuatan yang amat kuat dan dasyat. Terjadinya evolusi semacam ini memang dilatarbelakangi berbagai alasan, dari perkembangan ekonomi, kemajuan teknologi, kebudayaan, sistem politik, dan teknologi komunikasi.

Dampak sosial dari kemajuan teknologi komunikasi tentu memiliki dampak yang positif yang biasa digunakan atau dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan. menurut Marwah Daud Ibrahim memandang potensi perubahan sosial yang mendasar yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi

Pertama, dengan kemajuan teknologi komunikasi kemungkinan orang bisa terbuka dan menerima perubahan yang baik.
Kedua, dengan kemajuan teknologi komunikasi diharapkan menumbuhkan semangat ukuwah Islamiyah dan solidaritas sosial semakin meningkat.
Ketiga, dengan kemajuan teknologi komunikasi diharapkan setiap individu memiliki SDM yang berkualitas.

Dari gejala kemajuan teknologi komunikasi di atas, pendidikan Islam mempunyai strategi untuk mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dengan jalan :
  • Memotivasi kreativitas anak didik dengan nilai – nilai Islam sebagai acuan
  • Mendidik keterampilan, memanfaatkan produk teknologi komunikasi bagi kesejahteraan hidup umat manusia.
  • Menciptakan jariangan yang kuat antara ajaran agama dan teknologi komunikasi.
  • Menanamkan wawasan yang luas terhadap kehidupan masa depan umat manusia melalui kemampuan menginterprestasikan ajaran agama dari sumber-sumber ajaran yang murni dan kontekstual dengan masa depan kehidupan manusia.
Dampak globalisasi sebagai akibat dari kemajuan bidang informasi sebagaimana tersebut diatas terhadap dunia pendidikan. Berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti perkembangan teknologi komunikasi dan unsur budaya lainnya aka mudah dipengaruhi oleh masyarakat.

Ketika berhadapan dengan ide-ide modernisasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera.

Secara garis besar tantangan–tantangan tesebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Terdapatnya kecendrungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang telah ada (agama). Standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan ynag berpijak pada materialisme dan sekulerisme.
  2. Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan teoritis.
Bertolak dari kenyataan tersebut dalam konteks perubahan sosial ini pendidikan Islam mempunyai misi ganda yaitu:
  1. Mempersiapkan manusia muslim untuk menghadapi perubahan yang sedang dan akan terjadi, mengendalikan dan memanfaatkan perubahan tersebut, mepersiapakan kerangka fikiran yang komprehensif dan dinamis bagi terselenggaranya proses perubahan yang berada diatas nilai-nilai Islam.
  2. Memberikan solusi terhadap akses negatif kehidupan modern yang berupa depersonalisas, frustasi dan keterasingan umat dari dunia modern.
Kedua misi diatas mengisyaratkan tugas berat yang harud dihadapi pendidikan Islam, dan diperlukan kerangka pandang yang komprehensif dan relevan dalam dalam mengantisipasitiap perubahan sosial senagai kemajuam IPTEK.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Akmal Hawi. Kapita Selekta Pendidikan Islam. IAIN Raden Fatah Press. h.141

Drs. Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam. 1996 PT Raja Grafindo Persada: jakarta. h. 17

http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/pendidikan-islam-dan-sistem-komunikasi.html

Baca Selengkapnya ....

Pembentukan Kepribadian Muslim Sebagai Khalifah

Posted by Unknown 0 comments

Allah sebagai pencipta memberi pernyataan, bahawa ia mampu untuk menadikan manusia umat yang sama. Dalam hal ini ternyata Al-Qur’an telah memeberi jalan keluar untuk menggalang persatuan dan kesatuan manusia, yang memiliki latar belakang perbedaan suku, bangsa dan ras. Mengacu pada pengertian tersebut, setidak-tidaknya dijumpai empat aspek yang tercakup dalam pengertian ukhuwah, yaitu:
  • Ukhuwah fi al-ubudiyyat, yang mengadung arti persamaan dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah sebagai pencipta. Pesamaan seperti ini mencakup persamaan antara sesama makhluk ciptaan Allah.(QS. 6;38)
  • Ukhuwah fi al-insaniyyat, merujuk kepada pengertian bahwa manusia memiliki persamaan dalam asal keturunan (QS. 49:13)
  • Ukhuwah fi al-wathaniyyat wa al nasab, yang meletakkan dasar persamaan pada unsur bangsa dan hubungan pertalian darah.(QS. 4:22-23).
  • Ukhuwah fi din al-Islam, yang mengacu pada persamaan keyakinan (agama) yang dianut, yaitu Islam. 
Dasar ini menempatkan kaum muslimin sebagai saudara, karena memiliki akidah yang sama.


Mengacu pada pokok permasalahan diatas, terlihat bahwa kekhalifahan manusia bukan sekedar jabatan yang biasa. Dengan jabatan tersebut manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan dan pemeliharaan ciptaan Tuhan di muka bumi. Untuk itu manusia manusia dapat mengemban amanat Allah baerupa kreasi yang didasarkan atas norma-norma ilahiyat.

Sebagai khalifah manusia dituntut untuk memiliki rasa kasih sayang, yang sekaligus menjadi identitasnya. Sifat kasih sayang adalah cerminan dari kecenderungan manusia untuk meneladani sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebagai khalifaeh juaga manusia diserahkan amanta untuk mengatur kehidupan di bumi, manusia tak terlepas dari keterikatannya dengan sang Pencipta. Dalam hal ini manusia dituntut untuk bersyukur terhadap keberadaannya dan lingkungan hidupnya.

Kepribadian khalifah tergabung dalam empat sisi yang saling berkaitan, keempat sisi itu adalah: (1) mematuhi tugas yang diberikan Allah, (2) menerima tugas tersebut dan meleksanakannya dalam kehidupan perorangan maupun kelompok, (3) memelihara serta mengelola lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama, (4) Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.

Gambaran dari kepribadian Muslim terangkum dalam sosok individu yang segala aktivitasnya senantiasa didasarkan kepeda atas Nama Allah, sekaligus dalam ridho Allah. Kesadaran dan keterikatan dengan nilai-nilai ilahiyat ini merupakan acuan dasar bagi setiap aktivitas yang dilakukannya.


Artikel terkait :


Baca Selengkapnya ....

Kelembagaan Dalam Pengelolaan Zakat

Posted by Unknown Monday, December 10, 2012 0 comments

Pada dasarnya, selama memenuhi syarat dan tepat sasaran, maka berzakat melalui lembaga maupun langsung disalurkan sendiri, kedua-duanya boleh dan sah. Namun begitu, sistem kelembagaan dalam pengelolaan zakat tetaplah lebih baik dan lebih utama karena beberapa alasan, antara lain :
  1. Pengelolaan zakat secara kolektif melalui lembaga merupakan alternatif yang lebih dekat dengan sistem ideal pengelolaan zakat dalam Islam. Karena dibawah naungan sistem pemerintahan Islam, zakat dikelola secara kelembagaan formal dari negara dan bersifat kolektif (bukan perorangan).
  2. Sistem kelembagaan lebih praktis dan memudahkan, sehingga semangat, komitmen, dan konsistensi dalam menunaikan kewajiban berzakat tetap terus terjaga.
  3. Lebih terjamin untuk tepat sasaran dalam pengalokasian dibandingkan dengan jika disalurkan sendiri.
  4. Sistem kelembagaan lebih mampu mengelola dan mengalokasikan zakat berdasarkan skala prioritas diantara sasaran-sasaran penyaluran zakat yang banyak jumlahnya dan bermacam-macam golongannya.
  5. Sistem kelembagaan menjadikan kewajiban berzakat sebagai syiar yang akan meningkatkan semangat bagi yang telah berzakat sekaligus memberikan keteladanan dan dorongan bagi yang belum sadar zakat diantara kaum muslimin.
  6. Sistem kelembagaan kolektif lebih efektif untuk menjadikan zakat sebagai basis ekonomi umat karena dana bisa terhimpun dalam jumlah besar dan dialokasikan secara proporsional, hal mana tidak terjadi jika zakat disalurkan secara perorangan.

Adapun kriteria-kriteria lembaga pengelola zakat yang baik, antara lain :
  1. Amanah dan terpercaya, baik bagi pihak muzakki (pembayar zakat) maupun mustahiq (penerima zakat).
  2. Profesional dalam manajemen, operasional pengelolaan, maupun jajaran SDM-nya.
  3. Transparan dan memenuhi kriteria standar audit.
  4. Memiliki dewan syariah yang kompeten sebagai pengawal, pengawas, dan rujukan syar’i bagi lembaga dalam menunaikan amanat umat.
  5. Berpengalaman dalam bidang pengelolaan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Waqaf) dari umat dan untuk umat.
  6. Terbukti dan teruji dalam memenuhi kriteria-kriteria diatas.
  7. Memiliki wilayah jangkauan operasional yang luas.
  8. Memenuhi unsur legal formal sebagai lembaga pengelola ZISWAF sehingga akan lebih leluasa dalam berkiprah ditengah-tengah masyarakat.

Sumber : http://imamuna.wordpress.com/2011/07/25/fiqih-zakat/

Tags : Zakat, sistem pengelolan zakat, lembaga pengelola zakat, kriteria pengelola zakat, sasaran pengella zakat



Baca Selengkapnya ....

Cabang Ilmu Fiqh

Posted by Unknown 0 comments

Al Fiqh adalah sekumpulan hukum syar’iy yang wajib dipegangi oleh setiap muslim dalam kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan pribadi maupun sosial, meliputi:
  1. Al Ibadah: yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat dan puasa. Yang biasanya dimulai dengan penjelasakan tentang masalah Thoharah yang diawali dengan penjelasan tentang air, najis, bersuci dari hadats kecil dan besar, hal-hal yang membatalkannya dan bejana-bejana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Al Ahwal asy Syahsiyyah: yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai akhir, yang biasanya dimulai dengan penjelasan tentang pernikahan, kemudian perceraian, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga
  3. Al Mu’amalat: yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain seperti hukum akad jual beli, sewa menyewa, hak kepemilikan, dan lain-lain.
  4. Al Ahkam As Sulthaniyah: yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan rakyat, hokum-hukum peradilan dan mekanisme peradilan yang sesuai dengan hukum-hukum Islam serta contoh-contoh kasus dan pemecahannya.
  5. Ahakmus silmi wal harbi: yaitu yang mengatur  hubungan antar Negara, hukum-hukum yang berhubungan dengan jihad dan lain-lain

Sesungguhnya kompleksitas fiqh Islam terhadap masalah-masalah ini dan sejenisnya menegaskan bahwa Islam adalah jalan hidup yang tidak hanya mengatur agama tetapi juga mengatur negara.

Adapun urutan-urutan pembahasan masing-masing cabang di atas kadang-kadang terdapat perbedaan diantara madzhab-mazhab yang ada, terutama untuk yang no. 2 dan 3. Ini mengacu kepada prinsip dasar masing-masing madzhab. Madzhab Syafi’i misalnya lebih memilih membahas fiqih ibada terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh mu’amalah dan baru kemudian tentang permasalahan pernikahan.

Adapun Madzhab Maliki setelah membahas masalah ibadah mereka langsung membahas pernikahan, baru kemudian tentang mu’amalah, karena prinsip madzhab ini adalah pernikahan itu harus disegerakan dan Allah sudah menjamin dalam Surat An Nur bahwa dengan perniakahan Allah akan membuat para hamba-Nya menjadi kaya. Jadi menikah dalam madzhab ini adalah jalan menuju kekayaan.

Ini berbeda dengan madzhab Syafi’i yang mengharuskan adanya kesiapan fisik dan maeri untuk memasuki jenjang pernikahan itu.


Sumber : http://imamuna.wordpress.com/2011/11/24/cabang-cabang-ilmu-fiqih/

Tags : Ilmu fiqh, cabang-cabang ilmu fiqh, madzhab maliki, madzhab syafi'i

Baca Selengkapnya ....

Konsep Link And Match Dalam Pendidikan

Posted by Unknown 0 comments

Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat linked and matched.

Konsep Link and Match telah dikumandangkan sejak tahun 1990-an. Saat itu wacana yang muncul Perguruan Tinggi hanya sekedar menyiapkan lulusan yang siap training, siap dimodifikasi, dan siap ditambahkan ilmu. Padahal tuntutan para pengguna lulusan Perguruan Tinggi adalah siap pakai, siap bekerja, dan sebagainya. Intinya industri tidak ingin hanya sekedar terkena beban kembali, dengan biaya yang cukup tinggi, untuk selain memberi gaji pada karyawan juga harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk kembali melatih.

Memang perdebatan pun sengit terjadi banyak pihak yang berkomentar, konsep menyiapkan lulusan Perguruan Tinggi siap bekerja adalah nonsen dan tak mungkin terjadi. Dari pihak Perguruan Tinggi ternama pastilah tetap dengan gaya lama, yaitu menyiapkan para mahasiswa untuk setelah lulus, siap mengembangkan ilmunya dan mudah mengikuti keinginan pengguna untuk dilatih secara praktis. Kesannya bekerja adalah kegiatan amat teknis dan praktis saja. Padahal bekerja ada beberapa level mulai dari sangat teknis (mengetik, mengarsip, dll) hingga level strategis bagaimana membangun pasar, menciptakan image bahwa produk yang dihasilkan adalah sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan MenDikNas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.

Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.

Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.

Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.

Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan.

Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi.

Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.

Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.

Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.

Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai.


Daftar Rujukan:
1. Mahmud Imrona, Link and Match, (http://Mahmud-Imrona.blogspot.com/Search/Label/Link and Match, Diakses Tanggal 05 Januari 2008)
2. Wildaiman, Waspadai Ledakan Pengangguran Terdidik, ( http://theindonesiainstitute.org/aboutus.html diakses 05 Januari 2008)
3. Sindhunata (ed), Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm: 130

Baca Selengkapnya ....

Dasar Dasar Filsafat Ilmu Pendidikan

Posted by Unknown 0 comments

1. Dasar ontologis ilmu pendidikan

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. 


Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis.

Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.

Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

4. Dasar antropologis ilmu pendidikan

Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tags : Ilmu pendidikan, filsafat ilmu, dasar-dasar filsafat ilmu pendidikan

Baca Selengkapnya ....

Dasar Dasar Ilmu Pendidikan

Posted by Unknown Friday, December 7, 2012 0 comments

Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor.

Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.

Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulh segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma dibawah 100%.


1. Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan

Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.

Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup:
  • Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
  • Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
  • Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik (educator)
  • Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
  • Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)
  • Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
  • Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)

Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi:
  • Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
  • Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
  • Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
  • Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
  • Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.

Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.

2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu

Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitarmanuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa danb lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabvang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.

Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).

a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan

Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :

Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan cirri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.

Itulah fenomena atau gejala pendidikan secraa mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti daari batang tubuh pedagogic.

b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic

Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakn metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.

Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :
“Prediction and control, then are excellent criteria of understnding aang they also provide us with some of the uses of understanding. They are not always easy to apply, however, and I think little is gained by pretending that they are. It is futile to issue promissory notes about the future applications of the scientific study of education.”

Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu dan/atau filsafat umum.

Tags : Ilmu pendidikan, dasar-dasar ilmu pendidikan, menelaah gejalah pendidikan

Baca Selengkapnya ....

Pengertian Dan Konsep Sistem Nilai

Posted by Unknown Thursday, December 6, 2012 0 comments

Istilah nilai merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak (Ambroisje dalam Kaswadi, 1993) . Menurut Rokeach dan Bank (Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya denga pemaknaan atau pemberian arti suatu objek.

Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang danggap penting bagi seseorang dalam kehdiupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai adalah: “a belief upon which a man acts by preference. It is this a cognitive, a motor, and above all, a deeply propriate disposition”. Artinya nilai itu merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya. Ndraha (1997:27-28) menyatakan bahwa nilai bersifat abstrak, karena itu nilai pasti termuat dalam sesuatu. Sesuatu yang memuat nilai (vehicles) ada empat macam, yaitu: raga, perilaku, sikap dan pendirian dasar.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya. Sedangkan sistem nilai adalah suatu peringkat yang didasarkan pada suatu peringkat nilai-nilai seorang individu dalam hal intensitasnya. Dengan demikian untuk mengetahui atau melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan-kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang.

Pentingnya Nilai

Sebagimana ditegaskan oleh Robbins (1991:158) “Values are important to the study organizational behavior because they lay the foundation for the understanding of attitudes and motivation as well as influencing our perceptions. Indiviuals enter an organization with preconceived nations of what ‘ougth’ and what ‘outght not’ to be. Of course, these nations are not value free”. Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang “seharusnya” dan “tidak seharusnya”. Tentu saja gagasan-gagasan itu sendiri tidak bebas nilai.

Lebih lanjut Robbins (1991) menegaskan bahwa gagasan-gagasan tersebut mengandung penafsiran benar dan salah dan gagasan itu mengisyaratkan bahwa perilaku tertentu akan memperkeruh obyektivitas dan rasionalitas. Di bagian lain Robbins (1991:159) menyatakan “Values generally influence attitudes and behavior” (umumnya nilai mempengaruhi sikap da perilaku).

Tipe-tipe Nilai

Spranger (Alisyhbana, 1986) menggolongkan tipe nilai menjadi enam berdasarkan enam lapangan kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Keenam lapangan itu ialah: (1) lapangan pengetahuan; (2) lapangan ekonomi; (3) lapangan estetik; (4) lapangan politik; dan (5) lapangan religi. Robbins (1991:159-160) merujuk pendapat Allport, dan kawan-kawannya juga membagi tipe nilai menjadi enam, yaitu: (1) theoritical, (2) economic, (3) aesthetic, (4) social, (5) political, dan (6) religious. Dari keenam tipe nilai tersebut kemudian Spranger menggolongkan perilaku manusia ke dalam enam golongan atau tipe, yaitu: (1) theoretical man (concerned with truth and knowledge); (2) economic man (utilitarian); (3) esthetic man (art and harmony); (4) social man (humansitarian); (5) political man (power and control); dan (6) religious man. Dapat diartikan bahwa tipe nilai dapat digolongkan menjadi enam yaitu: (1) manusia teoritis (konsen terhadap kebenaran dan pengetahuan), (2) manusia ekonomik (utilitarian), (3) manusia estetik (seni dan harmoni), (4) manusia sosial (manusiawi), (5) manusia politik (kekuasaan dan pengawasan), dan (6) manusia religius (agama) .

Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dikelompokkan dalam 4 tingkatan sebagai berikut:
  1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
  2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang lebih penting bagi kehidupan, misalnya: kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum.
  3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan, seperti misalnya kehidupan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
  4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai kebutuhan .

Demikianlah macam-macam nilai serta klasifikasinya menurut berbagai pakar dan sumber. Penggunaan tiap-tiap kategorisasi di atas, tentu saja sesuai dengan konteks nilai yang dibicarakan, dan hal ini lebih lanjut digunakan untuk membahas tentang sistem nilai yang dikembangkan di sekolah.


Tags : Pengertian sistem niilai, konsep sistem nilai, pengertian dan konsep sistem nilai



Baca Selengkapnya ....

Manfaat Kartu PNS Elektronik (KPE)

Posted by Unknown 0 comments
Manfaat Kartu Pegawai Elektronik-Pada tahun 2012 ini para pegawai negeri sipil akan menerima satu kartu identitas yang disebut Kartu Pegawai Elektronik (KPE) Sebenarnya proses pengadaan KPE ini sudah dimulai sejak awal 2008. Namun pelaksanaannya masing-masing daerah tidak sama, dan untuk Kabupaten Tebo dimulai pada minggu-minggu ini.Kabarnya dengan kartu ini maka para pegawai negeri sipil akan mendapatkan banyak manfaat.
Pembuatan Kartu Pegawai Elektronik merupakan terobosan untuk meningkatkan pelayanan kepegawaian agar lebih efektif dan efesien.Penggunaan kartu pegawai elektronik diharapkan akan dapat memangkas berbagai birokrasi yang dapat mengurangi beban PNS dalam pengurusan administrasi kepegawaian dan layanan yang akan diperoleh akan menjadi lebih transparan dan objektif. Kartu pegawai elektronik dibuat menggunakan teknologi smart card sehingga dapat menjamin otentikasi sidik jari dan dapat dijadikan kartu identitas resmi PNS. Proses pengambilan gambar dan sidik jari dalam pembuatan KPE ini hampir sama dengan pembuatan Kartu Penduduk Elektronik (e KTP), karenanya pemerintah daerah melalukan penjadualan dalam pembuatannya agar semua PNS dapat terlayani dengan baik, dan tidak mengganggu tugas pegawai yang bersangkutan.
Manfaat KPE Bagi PNS :
1. Mendapatkan kepastian fasilitas ASKES yang diperoleh;
2. Mendapat kepastian besarnya tunjangan hari tua yang akan diperoleh dari Taspen;
3. Dapat mengetahui profil dan updating data kepegawaian melalui KPE;
4. Dapat mengetahui fasilitas bantuan Taperum;
5. Mendapatkan kemudahan dalam pelayanan transaksi bank dan pembayaran gaji;
6. Meningkatkan kesejahteraan PNS melalui cash back penggunaan KPE dalam transaksi di merchant;
7. Dapat memanfaatkan anjungan KPE (e-Kios) yang tersedia di kantor PNS untuk berbagai macam transaksi yang pada gilirannya akan meningkatkan jam kerja produktif PNS;
8. KPE tidak membebani PNS, tetapi sebaliknya memberikan kemudahan.
Semoga dengan kepemilikan Kartu Pegawai Elektronik harapan akan makin transparan, objektif, efektif dan efesiennya pelayanan urusan kepegawaian akan benar-benar terujud dan dirasakan semua PNS dan PNS dapat termotivasi lebih meningkatkan kinerja sesuai dengan tuntutan profesinya masing-masing.Amin.

Baca Selengkapnya ....

Pendidikan Dalam Praktek Memerlukan Teori

Posted by Unknown Wednesday, December 5, 2012 0 comments

Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.

Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997.

Itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).

“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”. Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.

Tags : Pendidikan dalm praktek, praktek dalam pendidikan, teori pendidikan, praktek pendidikan



Baca Selengkapnya ....

Landasan Sosial Dan Individual Pendidikan

Posted by Unknown Tuesday, December 4, 2012 0 comments

Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa.

Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).

Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik.

Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

Tags : Landasan sosial, individual pendidikan,  skala mikro pendidikan, skala makro pendidikan

Baca Selengkapnya ....
TEMPLATE CREDIT:
Tempat Belajar SEO Gratis Klik Di Sini - Situs Belanja Online Klik Di Sini - Original design by Bamz | Copyright of Dunia Pendidikan.